#6: Salju di Sahara

177 10 2
                                        

Shilla menaiki tangga menuju kamarnya dengan terburu-buru. Wajahnya panas. Ia ingin buru-buru tidur, kabur sebentar dari dunia nyata. Tuhan, apa yang udah gue lakukan? Ngasih kado itu? Minta sehari bareng Raka buat hadiah ulang tahun?

Udah gila ya gue?

Shilla masuk ke dalam kamar, membanting pintunya, lalu menjambak rambutnya sendiri. Lo idiot, Shil.

"Kenapa lo?"

Shilla berbalik menyamping dengan kaget, lalu mendapati Ai sedang tidur-tiduran di atas kasurnya dengan kedua lutut terangkat, menumpu sebuah buku pelajaran. Pakaiannya sudah berganti jadi stelan piyama polkadot pinky. "Ai! Lo ngapain?"

"Nungguin lo," jawab Ai. "Jadi, lo kenal Michelle Roux?"

Shilla mendengus, lalu melempar diri ke sofa bantal di pojok kamar. "Nggak."

"Kenapa lo bisa kenal sama Raka Wirajaya, tapi nggak kenal sama Michelle Roux?"

"Karena mereka adalah dua orang yang beda," jawab Shilla ketus. "Anak TK juga tahu."

"Tapi, lo mau kenalan sama Michelle Roux?"

Lama-lama, Shilla terbakar emosi. "Asal lo tahu, ya, Ai, gue bahkan baru tahu dia siapa siang tadi. Itupun cuma nama. Sampai sekarang, gue nggak tahu tuh rupa mukanya kayak gimana." Jeda. "Jangan-jangan, lebih cantik gue."

"Kak, lo udah tahu mukanya sejak dulu," ujar Ai tanpa menolehkan pandangan dari bukunya. "Lo tahu poster superbesar di pintu kamar gue? Yang dengan kurang ajarnya pernah lo katain tulang ikan asin?

"Kenapa? Michelle Roux mirip dia?"

"Dia Michelle Roux."

Shilla tenggelam di dalam sofanya. Jadi, ternyata, Michelle Roux adalah seorang bintang besar. 

Tunangan Raka.

Di luar keinginannya, Shilla mengingat-ingat lagi wajah Michelle yang terpampang di balik pintu kamar Ai. Mau tak mau, sebagai fotografer yang sering melakukan photoshoot dengan model-model, Shilla harus mengakui bahwa Michelle sempurna. Supermodel itu punya bakat, aura, dan fitur-fitur tubuh yang menarik. Dia tahu bagaimana cara menampilkan tubuhnya dengan baik, tanpa memberi kesan murahan. Bahkan jika dia telanjang sekalipun. 

Namun, yang paling menarik dari Michelle adalah bagaimana cara dia menatap kamera melalui mata birunya. Acuh tak acuh, tapi tajam. Hanya sekilas, tapi dalam. Dia bisa menampilkan apa pun hanya dari irisnya yang berdiameter satu senti itu. Mulai dari kebahagiaan sampai keresahan. 

Pantas saja Raka memilihnya.

Ai menatap Shilla. "Jadi, lo masih mau bilang kalau lo lebih cantik dari dia?"

Shilla mendengus. "Iya."

.

Tengah malam. 

Di samping Olga yang sudah mengorok hebat, Raka terjaga. Ditemani oleh lampu tidur temaram, segelas air putih hangat, dan sebuah buku—kumpulan puisi karya seorang pria Melayu, entah siapa. 

Hadiah dari Shilla.

Raka membalik lembar demi lembar dengan perlahan, seolah takut akan menyakiti buku lama itu. Ia baca seluruh puisi di dalamnya dengan cermat. Ia ingat sekali, bertahun-tahun yang lalu, ia pernah bercerita sambil lalu pada Shilla tentang minatnya pada puisi. Ia tidak menyangka, Shilla mengingat celotehannya itu. 

Bagi Raka, puisi berbeda dengan karya prosa lainnya. Setiap kali Raka membaca puisi tertentu, ia dapat merasakan bahwa sesuatu sedang berdebar dalam dadanya. Ada sesuatu yang magis di balik kumpulan kata itu—sesuatu yang menambah kata 'luar' sebelum kata 'biasa'. 

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang