#3 - Desember Tanpa Salju

218 11 4
                                        

Kepulangan Raka ke Indonesia, yang direncanakan akan berlangsung pada akhir tahun nanti (tepat pada ulang tahun Shilla), seperti didukung oleh takdir. Semua urusannya nyaris berjalan mulus. Ia punya jatah libur sebulan lebih hingga pertengahan Januari dan ia punya kesempatan untuk menghindari salju bulan Desember. 

Hanya Michelle yang tidak rela ia pergi.

Wajah Michelle sudah seperti tomat ranum ketika berkata (lebih tepatnya berteriak), "No, you can't! How dare you! Maman dan Julie (adik Michelle) akan melewatkan natal di Paris, they can't wait to meet you!"

"I am sorry," jawab Raka pelan, gelisah di tempat duduknya. Ia dan Michelle tengah duduk berhadapan di antara dua cangkir kopi dan croissants, menghabiskan brunch bersama di sebuah kafe. "Tapi saya harus pulang."

Tangan Michelle mengepal. Raka menatap tangan mungil itu dengan ngeri, takut jika sewaktu-waktu tangan itu melemparinya dengan pisau roti. "No! Why Indonesia? I thought your parents are in LA! I thought you hate that country!"

Mendengar kalimat terakhir, giliran Raka yang kesal. Suaranya berubah jadi lebih dingin. "Michelle, mana mungkin saya membenci negara kelahiran saya sendiri?"

"Kamu pulang karena Shilla, kan? Don't lie to me!"

Deg. 

Untuk menghilangkan kesalahtingkahannya, Raka buru-buru menyesap kopi. Dalam hatinya tumbuh penyesalan. Kenapa dulu ia, dengan bodohnya, bercerita tentang Shilla pada Michelle? "No, I am going there because I just want to."

Selama beberapa detik, Michelle mengatur napasnya. Kemudian ia menunjukkan jari manisnya yang dilingkari cincin. "I am your fiancé, and--for God's sake--I. Love. You."

Raka mengangguk. Getir. "I know."

Tidak ada percakapan lagi. Mereka ditelan kebisuan, Michelle disergap amarah, dan Raka dibuat pusing oleh pikirannya sendiri. Ia menatap wajah Michelle yang masih dipulas make-up setelah pemotretan dengan sebuah brand dari London. Wajah itu cantik, tapi kecut.

Raka bertanya-tanya pada dirinya sendiri, Gue emang kangen Shilla. Kadang-kadang gue pengin ketemu dia. Tapi gue masih sayang sama Michelle, kan?

Nggak ada yang berubah, kan?

.

Nggak ada yang berubah, kan?

Pertanyaan itu tidak pernah meninggalkan batin Raka. Tidak sekali pun. Tidak ketika ia nyaris dihantam oleh ujung Louboutin Michelle. Tidak ketika Maman menghujani telinganya dengan omelan panjang berbahasa Prancis campur Belanda. Tidak ketika ia menumpang taksi menuju bandara. 

Tidak pula sekarang, ketika pesawatnya baru saja mendarat di Changi, Singapura. Tempat transit. 

Sambil menunggu pesawat selanjutnya, Raka berbaring di snooze lounge. Sekelilingnya cukup ramai, namun ia merasa seperti sendiri. Nggak ada yang berubah, kan? Gue ke Jakarta cuma untuk reuni sama Putri, Olga, dan Shilla, kan, sebelum akhirnya balik ke Paris? 

Kembali ke Michelle? 

Lewat kaca jendela di hadapannya, yang menjadi pembatas antara bagian dalam dan luar bandara, Raka menatap langit subuh. Warnanya biru kehitaman, bercampur dengan sedikit pendar jingga di ufuk timur. Bulan sisa semalam masih membayang, sama seperti sebuah tanda tanya yang kini melayang di pikirannya. 

.

Kedatangan Raka di Soekarno-Hatta disambut spesial oleh Olga, sang kacung penjemput merangkap sopir. Sudah sejak satu jam yang lalu Olga berdiri di kerumunan para penjemput sambil mengacung-acungkan kertas karton berhias emoticon hati berwarna merah dengan heboh. Bienvenue en Indonésie, Mr. Raka Wirajaya. 

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang