#10: Pemotretan

239 17 3
                                    

Pagi ini, Raka mengemudikan Pajero-nya dengan panik. Terburu-buru. Setiap terhalang oleh lampu merah, tanpa sadar mulutnya langsung melemparkan makian kasar, disusul oleh tangannya yang menghantam klakson bertubi-tubi. Mobilnya bahkan sempat kena tendang oleh pengemudi motor di sebelah yang merasa terganggu. 

Setelah setengah jam berkutat dengan jalanan Jakarta (yang lebih ia benci dibandingkan dengan bundaran menyesatkan di sekitar Arc de Triomphe), akhirnya ia sampai di kawasan Bundaran HI. Ia segera mengarahkan mobilnya menuju salah satu hotel bintang lima di sebelah timur laut bundaran, lalu bergegas menuju sebuah kamar setelah menembus pihak keamanan hotel. 

"'Allo, Darling. Comment allez-vous? Apa kabar?"

Kamar tersebut, yang memiliki pastry, ruang tamu, dan berbagai fasilitas lain, merupakan kamar yang termahal dan terbesar. Interiornya, yang bergaya Mediterania dan diisi oleh perabotan terbaik, juga tampak indah. 

Namun, yang menarik perhatian Raka saat ini hanyalah Michelle. 

Michelle, yang baru saja membukakan pintu, berjinjit untuk mencium Raka. Tangannya melingkar di sekitar leher Raka dengan luwes, tanpa peduli bahwa Raka sedang membatu. "Akhirnya, kamu sampai juga." 

Raka baru bisa berbicara sepuluh detik kemudian, ketika akhirnya Michelle melepaskan diri darinya. "Kamu sakit apa?"

Michelle menatapnya heran. "Sakit? Sakit apa?"

Raka melongo. Wajahnya tampak bodoh. "Tadi, di telepon, kamu bilang kalau kamu sakit. Aku langsung ke sini setelah kamu meneleponku."

"Ah, My Man. Maaf, semua baik-baik saja. Aku harus mengaku sakit, karena jika tidak, kamu pasti tidak akan mau menemuiku," jawab Michelle sambil tertawa renyah, membuat Raka tambah melongo. "Ngomong-ngomong, apa ini?"

Jari-jemari Michelle yang panjang dan lentik mengelus pipi Raka. Butiran berwarna putih yang harum langsung menempel di permukaan jarinya. 

"Bedak," jawab Raka sambil mengusap-usap wajahnya. Tadi, ketika Michelle menelepon, ia memang sedang bermain ular tangga bersama Olga dan Putri (Shilla, yang baru bangun pukul sembilan pagi, sedang dalam perjalanan menuju apartemen Olga). Peraturannya, siapa pun yang kalah, mukanya harus rela dicoret menggunakan bedak. "Hukuman game."

Michelle berdecak kesal. "Konyol."

Raka tidak menjawab. 

"Ayo, masuk," ajak Michelle sambil menarik Raka ke dalam kamar, lalu mengempaskan diri di atas kasur king size-nya. Raka, yang bingung harus duduk di mana, memilih untuk menempati sofa kulit berukuran jumbo di pojok kamar. 

Michelle menoleh, menatap Raka. Wajahnya datar. "Kamu betulan mau duduk di situ?"

"Habisnya, mau di mana lagi?"

Michelle mendesah kesal. "Ya sudah."

Selama setengah jam selajutnya, mereka menonton televisi sambil berbincang ringan. Michelle lebih banyak bercerita, sementara Raka lebih banyak mendengarkan sambil mengemil snack dari minibar. Topiknya adalah rencana liburan mereka ke Bali, perjalanan selama di pesawat, dan--terutama--kekesalan Michelle karena Raka tidak bisa menjemputnya kemarin ("Kan kita sudah sepakat untuk menghindari wartawan dan paparazzi," balas Raka dengan mulut penuh cheetos).

"Sebenarnya, aku memang sakit," ujar Michelle, membuka topik baru. "Kakiku pegal." 

"Aku bisa memanggil tukang pijat, kalau kamu mau," ujar Raka.

"Apa itu?"

Raka kesulitan menjelaskan. "Em, orang yang kamu bayar untuk membuat kakimu menjadi lebih baik."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang