#9: Menjaga Michelle

136 11 0
                                    

Shilla pulang dari Bali dalam keadaan linglung. Meski hanya pergi selama beberapa jam, ia merasa asing dengan sudut-sudut Jakarta. Bahkan termasuk kamarnya sendiri. Ia merasa seperti baru menginjak Bumi, Bumi yang sesungguhnya, setelah sekian lama tinggal di tempat antah-berantah.

Tempat terakhirnya bersama Raka. 

Gue kenapa, sih? batin Shilla sambil membanting dirinya sendiri ke atas kasur, lalu membuka handphone dengan pikiran kosong.

Puluhan notifikasi misscall memenuhi layarnya. Seluruhnya dari Dimas. 

Shilla mengernyit. Ada apa? Urusan kerja, kah? Namun, walaupun tidak memberitahu Dimas, bukannya ia sudah mengajukan cuti sehari? 

Merasa khawatir, Shilla pun menelepon Dimas, yang langsung diangkat setelah satu bunyi tut. Padahal, sudah nyaris tengah malam. Tidak biasanya Dimas, sang pemuja Dewa Tidur, masih terjaga sampai sekarang. "Dim, ada apa? Di studio ada emergensi, ya?"

Suara Dimas terdengar dingin dan bergetar. Campuran antara marah, kesal, sekaligus lega. "Lo ke mana aja?"

"Gue... ada urusan," kata Shilla cepat. "Kan, gue udah cuti." 

"Kenapa lo nggak ngasih tahu gue?"

"Gue langsung ngajuin suratnya ke sekretaris Mr. Bobby," balas Shilla gelagapan. Mr. Bobby adalah pimpinan perusahaan fotografi tempat Shilla bekerja.

Hening sejenak.

"Lo tahu, nggak, sih, betapa khawatirnya gue?" kata Dimas. Nada suaranya melunak. "Putri dan Olga kompak nggak mau ngasih tahu gue tentang keberadaan lo. Mereka cuma bilang, lo pasti baik-baik aja. Cih, mana bisa gue tenang?" 

Shilla, walaupun merasa bersalah, mengangkat ujung bibirnya. Ia senang Dimas masih menjaganya. "Mereka bener. Lo nggak perlu khawatirin gue. Gue udah gede, udah bisa jaga diri, kok."

"Dikatakan oleh orang yang pernah ketiduran di punggung abang driver ojek online. Great," balas Dimas sinis. "Pokoknya, mulai sekarang, lo harus terus ngabarin gue kalau lo cuti. Gue mau tahu lo ke mana aja dan bareng siapa. Titik."

"Mulai, deh, overprotektifnya," balas Shilla, mulai ikut kesal. "Nyokap gue aja kagak gini-gini amat."

Dimas mendengus. Ia hanya bisa mengutuk fakta bahwa Shilla tidak tahu kalau ia kesal, khawatir, sekaligus takut. Kesal karena birthday surprise-nya, yang telah ia siapkan sejak jauh-jauh hari, gagal karena Shilla tidak masuk kantor. Khawatir karena takut Shilla terkena musibah.

Takut dengan kemungkinan Shilla cuti karena Raka. 

Raka, yang sempurna. Yang selalu memenangkan hati Shilla. Yang kaya raya dan gagah. Yang Dimas benci setengah mampus, tanpa peduli bahwa Dimas belum pernah sekali pun bertemu dengannya. 

"Terserah," jawab Dimas. "Udah, lo tidur sana. Pasti capek."

Shilla mendengus. "Jadi lebih capek setelah ngomong sama lo."

"Selamat malam," ujar Dimas lembut. "Selamat ulang tahun."

Sambungan telepon ditutup oleh Dimas, meninggalkan Shilla terbengong-bengong sendiri. 

.

Tidak hanya Shilla. Raka juga merasa linglung.

Begitu ia kembali ke apartemen Olga setelah mengantarkan Shilla pulang (pada malam ketika mereka kembali dari Bali), ia dikejutkan oleh kerumunan kecil wartawan media lokal yang memenuhi halaman apartemen Olga. Mereka menghadang mobil Raka sambil bertanya dan mengambil foto.

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang