Persahabatan yang utuh itu bukan hanya soal banyaknya waktu bersama. Tapi juga soal memahami dan menerima.
~●~
"Barga ganteng, jemput gue, dong. Ya, ya? Gue lagi di Matraman, nih. Nyari novel. Jemput, ya?"
"Nggak mau." Barga menjawab dengan suara serak karena tidur siangnya diganggu oleh dering ponsel. Si Ranya ini kalau menghubunginya selalu tidak pada kondisi yang tepat.
"Ih, Barga! Jemput, dong. Lagian ngapain sih, di rumah? Jomblo juga. Mending kita malem mingguan aja." Ranya mulai merengek, tidak tahu malu. Seperti kebiasaannya pada Barga.
Barga berdecak jengkel. "Tadi lo ke sana naik apa? Pulangnya pake itu lagi aja. Lagian ngapain sih ke Matraman segala," gerutunya sambil kembali memejamkan mata.
Demi apa pun, Barga baru bisa tidur jam lima pagi. Lalu bangun jam delapan pagi karena Ranya membangunkannya hanya untuk sarapan bersama di rumah cewek itu, yang memang bersebelahan dengan rumahnya.
"Ah, dasar! Ngakunya sahabat, gini doang nggak mau jemput. Ya udah, gue naik ojek aja biar cepet sampe rumah. Dah."
Mata Barga langsung terbuka dengan tubuhnya yang sudah tidak lagi berbaring di atas kasur. "Diem di sana. Gue mandi bentar habis itu jemput lo. Nggak usah naik ojek!"
"Nggak-"
"Nggak usah nyengir ya lo! Gue tahu lo pasti udah nahan ketawa sekarang."
Akhirnya Ranya mengganti senyum tertahannya dengan tawa keras. "Nanti gue traktir deh, Bar. Sekalian malem mingguan. Kapan lagi lo bisa malem mingguan sama cewek cakep kayak gue? Ya, kan?"
"Yang ada itu, kapan lagi lo malem mingguan sama cowok kayak gue!"
Klik. Barga langsung mematikan sambungan. Sekalipun dengan decakan, Barga tetap bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri lalu melangkah cepat menuju mobilnya untuk menjemput Ranya. Sahabat paling menyebalkan yang dimilikinya selama lebih dari tiga belas tahun.
Sedangkan Ranya masih tertawa sambil menatap layar ponselnya. Bersama Barga itu, tidak bisa dideskripsikan dengan kata ataupun kalimat. Ranya bukan tipe cewek yang sulit bergaul. Karena sekalipun menyebalkan, Ranya tetap mempunyai banyak teman. Tapi bagi Ranya, hanya Barga yang benar-benar mengerti dirinya. Dan Ranya selalu bersyukur pada Tuhan yang sudah menjadikan Barga sebagai sahabatnya selama lebih dari tiga belas tahun.
Setelah hampir satu jam lebih Ranya menunggu, akhirnya Barga datang menghampirinya yang sedang menunggu di jajaran rak novel. "Kok lama banget, sih?"
Barga mendelik kesal saat mendengar Ranya yang protes pada keterlambatannya menjemput. "Macet, Nya," jawabnya malas-malasan. "Lo tuh, bukannya bilang makasih gue masih mau jemput, malah protes segala!" kesalnya lalu mengambil sebuah novel kemudian membaca bagian belakangnya.
"Lagian pake mandi segala. Keramas lagi. Lo kira bakal langsung dapet cewek kalo lo rapi begini?" cibir Ranya sambil mengibas-ngibaskan rambut Barga.
"Ini anak!" Barga langsung menyingkirkan tangan Ranya dari rambutnya. Kemudian memukul kepala Ranya dengan novel di tangannya.
"Sakit, Barga!"
Barga hanya mencibir. "Kalo gue nggak mandi sama nggak keramas, pusing gue nggak bakal hilang. Lo mau gue mati kecelakaan sebelum jemput lo?"
"Ih, Barga! Ngomongnya, ya!"
"Makanya, lo jangan banyakin protes," balas Barga jengkel. "Harusnya lo banyakin terima kasih."
"Kalo lo mati, ntar nggak ada yang bisa gue tebengin lagi. Lo tega?"
Mata Barga langsung membelalak lebar. Kehabisan kata-kata untuk tingkah Ranya yang selalu menyebalkan. "Untung gue kenal lo dari orok, Nya," ujarnya lalu meletakkan kembali novel di tangannya.
Ranya terbahak keras kemudian berjalan lebih dulu sambil membawa dua novel yang sudah dibayarnya. "Ya udah, yuk, balik. Gue traktir sop duren, deh," ucapnya lalu sedikit menoleh ke belakang, melihat Barga. "Tapi habis itu lo traktir bakso, ya?"
Senyum Barga yang tadinya sudah mengembang saat mendengar tiga kata 'traktir sop duren' langsung lenyap saat mendengar kalimat terakhir. "Bodo, Nya! Bodo!"
Dan Ranya kembali terbahak keras lalu melanjutkan langkahnya. Membuat Barga kesal adalah salah satu keahlian Ranya. Tapi selama ini, Ranya tidak pernah menyesal membuat Barga kesal karena Ranya tahu, Barga paham bahwa itu hanya bentuk candaannya.
Di belakang Ranya, Barga tersenyum tipis saat melihat punggung Ranya. Lalu Barga mendengus pelan, menyadari sepenting apa Ranya di hidupnya. Barga tidak akan pernah marah dengan semua tingkah menyebalkan Ranya. Karena Ranya adalah salah satu alasan yang membuatnya bisa bertahan sampai detik ini. Hanya Ranya, satu-satunya orang yang menerimanya tanpa alasan apa pun.
Ranya yang ceria selalu bisa menutupi sifat Barga yang tertutup. Ranya yang tidak pernah diam selalu bisa menutupi sifat Barga yang pendiam.
Barga yang pintar selalu bisa menutupi sifat Ranya yang malas. Barga yang teratur selalu bisa menutupi sifat Ranya yang teledor.
Ranya akan selalu memberikan pelukannya ketika Barga menunjukkan keterpurukan, hanya di depannya. Ranya akan berdiri paling depan untuk menutupi kejatuhan Barga.
Barga akan selalu memberikan bahunya ketika Ranya menangis. Barga akan berdiri paling depan untuk menghajar siapapun yang membuat senyum Ranya memudar.
Keduanya saling melindungi dengan cara mereka masing-masing. Karena bagi Ranya, Barga adalah sahabat yang menjelma menjadi penyeimbang dalam hidupnya. Dan bagi Barga, Ranya adalah warna dalam dunianya yang kelabu.
~•~
Haiii!! Lama tidak bersua di lapak ini. Huehehe. Selamat berkenalan dengan Barga dan Ranya. Semoga jatuh cinta juga dengan mereka dan kisah mereka di SMA Nusa Cendekia, yang hitz bingits. Huahahaha.
Menurut kalian, gimana Barga sama Ranya? ^^
Jangan lupa dukungan vote dan komen, ya :p
Salam sayang,
KAMU SEDANG MEMBACA
Barga [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Teen Fiction[Sudah tersedia di toko buku. Beberapa part sudah dihapus] Sahabat rasa pacar, siapa yang nggak mau? Tapi Barga jelas menolak tawaran itu. Sebab baginya, status pacar bisa jadi mantan tapi tidak dengan persahabatan. Karena ini tentang Barga yang san...