Tahu kenapa gue bisa takut lo ikutan pergi? Karena nemuin orang selain keluarga gue, yang bisa terima gue tanpa banyak nuntut. Ya, cuma elo. Selain lo, gue belum nemu lagi.
~•~
"Selamat ulang tahun, Bang Erga."
Barga hanya diam. Tidak terusik sama sekali pada celotehan Ranya sejak tadi.
"Pita suara Barga lagi rusak, Bang. Jadi dia nggak bisa ngomong hari ini. Adek lo kan, emang gitu. Di depan orang aja keliatannya cuek, kalem. Padahal mah, pret! Sama gue aja galaknya bukan main," celetuk Ranya lagi.
Kali ini Barga mendengus geli. Sungguh, dia berusaha untuk bersikap biasa saja. Melupakan apa yang memang sudah terjadi.
"Gue tuh, suka mikir. Kalo aja lo masih di sini, pasti ada yang belain gue dari Barga. Dia tuh, jahat banget sama gue, Bang. Suka marah-marah. Suka ngata-ngatain. Suk-"
"Nya, denger suara-suara aneh gitu nggak?" bisik Barga, yang sudah berjongkok di sebelah Ranya.
Ranya langsung menoleh, menatap Barga dengan tajam. "Diem, ya," balasnya, ikut berbisik.
"Serius gue. Lo nggak denger? Kayak banyak suara tumpang-tindih gitu."
"Apaan sih, Bar?! Kesel deh, gue." Ranya masih balas berbisik.
"Beneran nggak denger? Parah, gue kok merinding ya, Nya."
Mata Ranya mulai menatap sekitarnya dengan nyalang. "Lo mau nakut-nakutin gue, ya?" tanyanya, masih berbisik. Bahkan sekarang tubuhnya sudah sangat dekat dengan Barga.
Dalam hati, Barga berusaha menahan senyum gelinya. Ranya si sok pemberani ini, justru paling tidak suka dengan cerita-cerita yang menyangkut alam lain. Dan bodohnya, sahabatnya ini benar-benar percaya dengan cerita-cerita itu. "Eh, bentar. Kayaknya gue pernah denger suaranya."
"Suara apa?"
Mereka kembali saling berbisik. Dan Barga terlihat benar-benar menikmati raut panik milik Ranya. Kemudian Barga mendekatkan wajahnya ke depan Ranya. Menatap cewek itu dengan binar geli. "Suara lo ternyata."
"Sialan!" maki Ranya sambil mendorong tubuh Barga sampai cowok itu sedikit terpental.
Barga langsung terbahak. Tapi kemudian menahan tawanya. "Hush! Nggak sopan maki-maki orang di depan kuburan."
Ranya memberengut. "Tuh, lihat kan, Bang?! Gimana bisa ya, gue betah temenan sama dia?" keluhnya.
Berga tertawa kecil. "Udah, kan? Balik, yuk."
"Lo nggak mau bilang apa-apa?"
"Nya, ini tuh, kuburan. Ya kali gue nggak waras kayak lo yang ngomong sama tanah," sahut Barga pelan.
Ranya mencebikkan bibirnya lalu kembali menatap makam Erga, memilih mengabaikan kalimat Barga. "Bang Erga, bahagia ya, di sana. Harus sering senyum sama kayak waktu masih di sini. Walaupun malaikat emang jahat banget sama gue, karena ngambil lo buru-buru, tapi setidaknya lo harus kasih mereka senyum. Karena gue yakin, mereka emang suka sama lo." Bibir Ranya tersenyum getir. "Tapi nggak apa-apa. Asalkan lo nggak kesepian di sana," ujarnya lirih. Ranya sadar kalau matanya mulai berair. "Barga baik-baik aja kok, di sini. Gue janji bakal jagain dia. Kan gue, kakak ipar yang baik."
Demi apa pun, Ranya berusaha menahan tangisnya. Sekalipun memang jika pergi ke makan Erga bersama Barga, Ranya akan menangis, tapi dirinya pikir tidak lagi setelah umurnya bertambah. Karena ternyata hentakan rasa kosong saat mendengar kabar kecelakaan dua bersaudara ini, masih bisa dirasakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barga [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]
Jugendliteratur[Sudah tersedia di toko buku. Beberapa part sudah dihapus] Sahabat rasa pacar, siapa yang nggak mau? Tapi Barga jelas menolak tawaran itu. Sebab baginya, status pacar bisa jadi mantan tapi tidak dengan persahabatan. Karena ini tentang Barga yang san...