Senja sepulang sekolah hari itu, aku dan Nadia pergi ke alamat rumahnya, melintas jalanan ibukota, memasuki gang-gang perkampungan dan jalan kecil berbatu menuju sebuah rumah sederhana bercat putih yang terletak di salah satu ujung kampung. Benar-benar rumah yang sederhana, sesederhana orangnya.
Kami sampai di depan pintu rumah itu dan mengetuk pelan pintunya.
"Assalamualaikum..." kataku mengucap salam. Beberapa kali aku mengetuk dan mengucap salam, tapi tak ada orang yang membukakan pintu. Bahkan suara yang menandakan bahwa ada kegiatan di dalam rumah pun sama sekali tak terdengar. Tapi saat itu tiba-tiba saja sebuah suara menyeletuk dari belakang kami.
"Nyari siapa dek?"
Aku dan Nadia sontak menoleh dan mendapati seorang wanita berhijab, berusia paruh baya berdiri menatap kami dengan senyum ramah tersungging di bibir. Wanita itu berbicara dengan nada ramah dan lembut, kemudian mempersilakan kami masuk setelah mendengar penjelasan kami.
Betapa terkejutnya aku, ketika beliau ternyata sudah tahu tentang diriku.
"Saya tahu, kamu pasti akan datang, kamu memang pantas untuk ditunggu." begitu katanya dengan suara halus penuh kasih sayang.
"Maaf ibu sebelumnya, ibu tahu tentang saya?" tanyaku benar-benar penasaran.
Wanita itu memamerkan senyum penuh keibuan sekali lagi dan menjawab, "Iya, anak saya yang memberitahu saya, dia suka sekali cerita tentang kamu."
"Jadi... ini bener rumahnya Diyas? Dan ibu..."
"Saya Ibunya Diyas." lanjutnya menyambung ucapanku.
"Kalau gitu, di mana Diyas sekarang bu?" kali ini ganti Nadia yang bertanya.
Raut wajah wanita itu berubah sendu, sinar matanya terlihat meredup, meski senyum di bibirnya rak kunjung pudar. Dengan suara halus serupa bisikan, ia menjawab, "Diyas sudah meninggal, dua bulan yang lalu karena leukimia yang dideritanya."
Kotak berisi puisi-puisi dalam genggamanku terlepas dan jatuh begitu saja dengan suara berkelotak menghantam lantai. Aku tak tahu aku harus merasakan apa saat itu. Dunia seolah berputar tak beraturan di sekelilingku. Ingin kutulikan pendengaranku saat mendengar kenyataan itu. Hatiku berteriak, menjerit keras tak mau menerima kenyataan itu. Dan kini, kegelapan mulai menggelayuti mataku, rasa sakit dan sesak mulai menyerang dadaku, hingga kesadaranku pun terenggut perlahan-lahan.
***Aku terbangun di atas sebuah tempat tidur berseprai putih bersih dan empuk. Aku membuka mataku lebar-lebar dan mulai membiasakan diri dengan pemandangan di sana. Kudapati sahabatku Nadia menatapku dengan sorot mata cemas.
"Kamu baik-baik aja Nay?" tanyanya.
Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, entahlah, bahkan aku sendiri tak tahu apa aku baik-baik saja. Karena saat ini, hatiku hancur, serasa kosong dan hampa karena telah ditinggal pergi pemiliknya. Dan air mataku pun kembali menetes, bergulir satu demi satu.
"Kau memang pintar bersajak dalam ribuan kata yang penuh makna ambigu dan terkadang menipu, seperti kau pintar menyembunyikan semua kenyataan ini dariku."
Aku melihat ke sekeliling dinding kamar itu, dipenuhi dengan kertas-kertas berisikan puisi yang ditulisnya. Foto-foto wajahku yang aku sendiri pun tak tahu kapan ia mengabadikannya, tertempel rapi di dinding itu. Dan sebuah gitar yang dulu pernah ia gunakan untuk menyanyikan lagu untukku, tergeletak damai di salah satu sudut kamar itu.
Air mataku kembali mengucur, semakin deras, tak terkira rasa sakit dan sesaknya di dalam hati. Tak kudapati saat-saat terakhir hidupnya. Tak kudapati raut wajah terakhirnya. Tak kudengar merdu suara terakhirnya.
***Aku mengusap kedua mataku yang masih saja setia mengeluarkan air mata, bahkan air mataku mungkin tak kan pernah bisa berhenti sampai rasa sakit di hatiku menghilang. Tapi apakah rasa sakit karena kehilangan seseorang yang begitu berharga bisa hilang begitu saja? Entahlah, aku sendiri pun tak tahu, karena aku baru sekali ini mengalaminya.
Kulihat Ibunya Diyas mengambil sesuatu dari dalam kamar Diyas. Sebuah kotak besar berwarna coklat yang masih terbungkus rapi. Ibu Ida kemudian meletakkan kotak besar itu di atas meja dan mendorongnya ke arahku
"Ini buat kamu nak." ujarnya pelan.
Masih dengan sesenggukan, aku meraih kotak besar itu. "Ini apa Bu?" tanyaku.
"Kamu bisa buka kotak itu nanti di rumah nak, Ibu juga nggak tahu apa isinya. Diyas cuma ngasih tahu kalau itu untuk Maya, dan suatu saat Maya pasti akan datang dan berusaha buat menemui Diyas."
Aur mataku kembali mengalir, mendengar namanya saja masih membuat hatiku sakit.
"Maya," panggil Bu Ida dengan suara lembut.
Aku mendongak dan menatapnya sendu.
"Tolong jangan menunggu Diyas lagi, kamu sudah membuktikan bahwa kamu memang seseorang yang pantas untuk ditunggu, tapi kamu harus berhenti menunggu seseorang yang sudah nggak ada. Kamu pantes dan berhak mencari kebahagiaan kamu sendiri nak."
***To Be Continued...
Untuk cerita selanjutnya, masih kelanjutan dari cerita Maya...
Makasih banget yang udah mau baca, walaupun cuma dikit, tapi bikin aku seneng buat nerusin ceritanya. Tapi ini cuma sepenggal cerita-cerita pendek aja, nggak akan lama tamatnya kayak novel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-cerpen cinta
Short StoryCerita-cerita pendek senderhana, tentang cinta yang sederhana, tentang cinta yang tak menuntut kesempurnaan. Dan tentang cinta yang tak harus selalu berakhir bahagia.