Akhir dan Awal yang baru

391 4 0
                                    

Berhari-hari sejak aku mengetahui kenyataan pahit itu, aku benar-benar merasa kacau. Aku tidak bisa melakukan segalanya dengan benar. Seolah dunia dan hidupku tidak berada pada tempatnya yang benar. Aku sering melamun dan membayangkan bahwa Diyas masih ada, mungkin karena terpengaruh keinginan dari alam bawah sadarku yang begitu merindukannya, yang begitu ingin bertemu dengannya.

Diyas seolah masih ada di sekelilingku, selalu ada di setiap pandanganku. Tapi tetap saja, semua itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Diyas sudah pergi, tidak akan membuat alam mengembalikannya lagi.

Aku duduk termenung di dalamb kamar dengan memeluk kedua kakiku, menatap ke arah sebuah pohon kecil yang dihias begitu indah dengan lampu-lampu kecil berwarna-warni yang melilit di setiap batang dan ranting-rantingnya. Dan aku meletakkan kertas-kertas puisi Diyas di sana, menggantung sebagai daun-daunnya.

Aku menatap pohon kecil itu dan mendesah pelan, memejamkan mataku dan mengingat kembali surat dari Diyas yang disertakan di dalam kotak berisi hadiah pohon kecil itu

13 Juli 2017

Dear Maya,

Tubuh ini...
Terkekang oleh kefanaan waktu
Jiwa ini...
Tertanda milik Sang Pencipta
Di pucuk mata, kutatap malaikat kematian
Kutunggu menyapa diriku
Tapi sayang, cintaku ini...
Tak kan lekang oleh waktu
Tak kan lekang oleh rapuhnya raga
Selama masih ada di hati pengingatnya

Aku nggak tahu harus mulai dari mana May, aku tahu kamu pasti ngerasa kecewa. Maaf, maaf atas semua kebohongan yang aku lakuin. Aku terpaksa ngelakuin ini, aku nggak mau kamu merasa sedih karena aku. Selama ini aku nggak pernah bilang apa-apa soal perasaan aku, padahal kita udah deket banget.
Kamu pasti bingung, kesel, marah, karena itu aku bener-bener minta maaf. Tapi aku juga nggak bisa maksain keadaan May, aku nggak bisa segampang itu maksa Tuhan buat angkat penyakit ini. Dan sekarang lewat surat ini, ijinin aku buat ngungkapin perasaan aku sama kamu.

AKU CINTA SAMA KAMU MAYA.

Tapi meskipun aku cinta sama kamu,  bukan berarti kamu harus terjebak di satu orang yang sama. Kamu bisa lupain aku, kamu bisa bahagia tanpa aku.

Diyas,

***

Aku pergi ke makam Diyas setelah hampir dua minggu aku terpuruk dalam kesedihan. Butuh waktu lama bagiku untuk bangun dan menghadapi kenyataan. Aku berusaha tegar dan tidak menangis saat menghadapinya, karena aku tahu Diyas pun pasti tidak ingin melihatku terus terpuruk dan bersedih. Dia ingin aku menemukan kebahagiaan untukku, dan akan kulakukan demi dirinya.

Setelah pergi ke makam Diyas, aku pergi ke dermaga pelabuhan tak jauh dari tempat tinggalku. Tempat yang dulu biasa kukunjungi bersama Diyas untuk menikmati keindahan lukisan Tuhan di langit senja yang begitu memanjakan mata.

Aku duduk di tepian dermaga dan menatap ke langit senja. Teringat kembali saat aku kemari bersamanya.

Alunan gitar dan suara merdu Diyas begitu menenangkan, membuatku mendapat banyak inspirasi untuk membuat puisi atau sekedar catatan-catatan pendek. Kudengarkan terus alunan merdu suaranya ketika bernyanyi sambil mencoret-coret di buku harianku. Tapi tiba-tiba saja ia berhenti, membuatku menoleh dan mendapati dirinya menatapku dengan sorot mata kesal.

"Kenapa berhenti?" tanyaku bingung.

"Ngapain aku nyanyi kalau nggak ada yang dengerin." jawabnya datar.

Aku tersenyum mendengar jawabannya dan merasa geli. "Aku dengerin kamu nyanyi kok." bantahku.

Ia mendengus pelan, kemudian merebut buku harianku dari tanganku. Aku memekik dan memberontak mencoba merebut buku itu kembali. Tapi entah bagaimana ia berhasil membuatku kewalahan dan menyerah. Aku hanya bisa cemberut dan memasang raut wajah kesal, karena sesungguhnya aku malu kalau sampai ia membaca tulisanku yang semua isinya adalah puisi-puisi yang kutulis tentang dirinya, dan yang pasti tak lebih baik dari puisi-puisi buatannya sendiri.

Ia mengamati buku harianku sejenak, lalu tersenyum. "Aku nggak bakal baca isinya kok." katanya santai seolah tahu apa yang sedang kutakutkan. "Dan sekarang, kamu harus dengerin lagu aku dulu." lanjutnya.

"Lagu kamu?" tanyaku tak percaya.

"Iya." jawabnya dengan antusias.

"Oke deh, let's check it out." kataku disertai dengan senyuman lebar.

Dan alunan gitar pun kembali mengalun diiringi dengan suara merdu Diyas membawakan lagu yang katanya adalah ciptaannya, serta aku yang setia mendengarkannya bernyanyi sambil tersenyum-senyum sendiri.

Aku tersadar dari lamunanku ketika merasakan air mataku kembali menetes. Aku cepat-cepat menghapusnya dan menggeleng-geleng pelan. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Untuk Diyas, aku tidak akan menangis lagi, dan aku akan bahagia. Aku akan menemukan kebahagiaan itu.

Tapi aku tidak akan mencari sosok pengganti seorang Diyas, karena Diyas tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun. Karena sosok Diyas hanya ada satu, dan selamanya di hatiku akan tetap seperti itu.

Mencintai dan dicintai adalah anugerah Tuhan, dan bukan merupakan paksaan. Mendapatkan balasan cinta dari seseorang juga bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Berkat Diyas, aku bisa memahami hal itu.

Dan cintaku terbalaskan, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Walaupun harus berakhir seperti ini, walaupun harus dihiasi air mata, tapi hatiku dipenuhi dengan kebahagiaan karena aku tahu dia mencintaiku, dan aku tidak akan pernah menyesal karena aku pernah mencintainya.

Dan aku akan tetap selalu mencintainya.

THE END

Dan chapter ini adalah bagian terakhir dari cerpen Pohon Cinta untuk Maya, makasih yang udah nyempetin waktunya buat baca ceritaku yang apalah ini..., makasih banyak, dan tolong kasih vote juga biar jdi penyemangat buat aku 😊😄

Cerpen-cerpen cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang