"Kalau memang rasa ini yang bisa buat gue bertahan untuk hidup. Gue rela menyimpannya sendiri untuk selamanya."
Dea menunggu sambil memutar-mutar ponsel di genggamannya menunggu balasan dari seseorang. Sesekali kepalanya celingukan ke arah pintu masuk berharap orang yang ditunggunya segera datang. Dan tepatnya lima menit kemudian, akhirnya yang ditunggunya datang juga, dengan nafas ngos-ngosan yang terlihat meyakinkan sekali bahwa ia benar-benar berusaha datang secepat mungkin.
"Lo kemana aja sih Al?" desah Dea frustasi, raut wajahnya terlihat depresi.
"Sorry sorry, gue tadi harus ngumpul tugas dulu ke kampus De." jelas Aldi masih dengan nafas yang ngos-ngosan. "Minuman lo buat gue ya? Ntar lo pesen lagi." katanya seraya menyambar minuman Dea begitu saja tanpa izin.
Dan setelah menghabiskan hampir setengah gelas minuman Dea, ia baru bisa terlihat tenang. "Ada apa De? Kayaknya ada masalah mendesak banget lo nyuruh gue kesini?" tanyanya.
"Iya, gue butuh bantuan lo." jawab Dea tegas.
"Bantuan apaan?"
"Gue mau lo nyariin seseorang buat jadi pacar gue." jelas Dea tanpa tedeng aling-aling.
Aldi melongo mendengar jawaban Dea barusan. "Elo segitu depresinya De, ha?"
"Habis mau gimana lagi Al? Gue nggak tahan kalau harus kayak gini terus. Gue semakin nggak bisa ngelupain dia. Gue cuma mau lupain dia Al." kata-kata Dea meluncur dengan nada seolah penuh dengan luka. Nada tersiksa dan menyerah terdengar kentara sekali dalam suaranya.
Aldi terlihat menghembuskan nafas sekali, kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Apa lo yakin?" tanyanya.
"Iya."
Aldi bangkit lagi dan menatap Dea dengan serius. "Dengan lo ngelakuin ini, nggak bakal bisa bikin lo lupa sama dia De. Masalahnya bukan di keadaannya lo nggak bisa ngelupain dia, tapi hati lo. Hati lo yang masih bermasalah, itu yang harus lo sembuhin dulu. Karena berapa kali pun lo berusaha kenal sama orang baru, kalau hati lo masih ada dia, lo nggak akan bisa terima orang baru itu, iya kan?"
"Tapi seenggaknya gue udah mencoba, daripada gue cuma diem dan nggak ngelakuin apa-apa." sergah Dea.
"Terserah." kata Aldi sambil mengangkat tangan ke atas, seolah menyerah tak bisa meyakinkan sahabatnya. "Tapi gue udah lama kenal lo, dan gue yakin, cara ini nggak bakal berhasil buat bikin lo lupa sama dia."
Dea tak menjawab lagi kata-kata Aldi barusan, hanya menatapnya datar. Tapi dalam matanya terlihat jelas sekali perasaan frustasinya.
"Oke, kalau gitu besok, di sini di jam yang sama, gue bakal temuin lo sama seseorang."
Dea terlihat menghembuskan nafas lega, tapi Aldi kembali menyelanya. "Tapi jangan berharap banyak, kalau dia bisa jadi obat buat hati lo."
***
Malam itu Dea duduk di atas ranjang di dalam kamarnya sambil menatap foto-fotonya bersama cowok itu. Dea mendesah frustasi, mau ia apakan foto-foto itu? Membuangnya? Membakarnya? Atau bahkan menguburnya? Aahh! Semua itu takkan berhasil membuatnya lupa kalau kenangan-kenangan itu bersarang di dalam kepalanya, mengakar di dalam hatinya.
Tanpa sadar air matanya turun mengalir ke pipinya. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Ia tak pernah jatuh sedalam ini sebelumnya. Karena itu, ini pertama kalinya rasa sakit begitu sesak menyerangnya hanya karena ia kehilangan seseorang.
Sebenarnya bukan karena masalah yang besar, mungkin bahkan hanya karena sebuah kesalahpahaman sepele. Dan Dea adalah orang yang sebenarnya suka memperjuangkan sesuatu yang sangat disukainya. Seperti kali ini, ia begitu menyayanginya, karena itu ia ingin berjuang. Tapi kembali lagi pada pemikirannya, bahwa dia adalah orang pertama yang mampu mengubah sudut pandang Dea yang dulu begitu angkuh dan keras kepala. Dea memutuskan untuk merelakannya walau masih begitu menyayanginya. Karena ia sadar, dia berhak mendapatkan yang lebih baik dari Dea. Tapi meski ia sudah membulatkan tekad sedemikian rupa, ia masih saja kalah. Ia masih saja merasa sakit ketika mengingatnya. Merasa sakit ketika secuil harapan kembali menyelinap ke dalam hatinya agar mereka bisa kembali bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-cerpen cinta
Short StoryCerita-cerita pendek senderhana, tentang cinta yang sederhana, tentang cinta yang tak menuntut kesempurnaan. Dan tentang cinta yang tak harus selalu berakhir bahagia.