Hari ini berlalu lambat sekali seperti kebanyakan hari senin lainnya. Awal sebuah hari dalam seminggu dan awal dari waktu yang panjang. Mia pulang dengan langkah gontai saking lelahnya. Tapi ketika ia sampai di depan rumahnya, pintu rumah tertutup rapat.
"Oh iya lupa, mama sama papa kan pergi ke rumah nenek hari ini." Katanya lesu.
Ia mendesah panjang dan melangkah masuk ke dalam rumah. Mia memang tidak pernah suka saat ia pulang ke rumah dan sama sekali tidak ada orang di sana yang bisa menyambutnya.
Mia langsung menuju ke kamarnya di lantai atas, melemparkan tasnya sembarangan ke lantai dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia mendesah sambil menatap langit-langit kamarnya, merasakan setiap rasa lelah yang mulai semakin terasa. Dan tak butuh waktu lama setelah itu untuk tertidur pulas.
***
"Mia? Mia?" Panggil mamanya pelan sambil menepuk-nepuk pipinya. Mia membuka matanya perlahan-lahan yang memang terasa masih berat untuk terbuka.
"Sayang, ayo bangun, udah mau maghrib lho." Lanjut mamanya mewanti.
Mia seketika langsung tersentak dan bangun dari tidurnya."Udah mau maghrib ma?" Tanyanya terkejut.
"Iya." Mamanya menjawab singkat.
Tanpa buang waktu lagi Mia langsung melesat keluar dari kamarnya dan keluar ke halaman rumah.
"Untung aja masih sempet lihat langitnya," desahnya senang.
Langit twilight dengan warna berpendar orange keungu-unguan itu memang pemandangan favorit Mia yang selalu dan wajib harus dinikmatinya setiap sore. Tapi sepertinya hari ini, ia hanya punya waktu sebentar saja untuk menikmati keindahannya, karena sebagian besar langitnya sudah mulai gelap, cahaya orange kemerahannya sudah hampir hilang ditelan malam.
Mia mendesah dan berbalik hendak masuk ke dalam. Tapi kemudian langkah kakinya terhenti ketika matanya menemukan sebuah amplop di atas meja teras rumahnya. Mia mengerutkan kening bingung sembari mengambil amplop itu. Warna amplop itu seperti warna langit twilight yang sempat dinikmatinya tadi.
Merasa penasaran, Mia membuka amplop itu dan mengeluarkan lipatan kertas di dalamnya. Ia membuka lipatan kertas itu dan membaca surat yang berisi sebuah puisi sederhana di dalamnya:Dear Mia,
Rinduku membumbung tinggi,
Nan jauh di angkasa...
Kubiarkan bermain bersama mega-mega twilgiht di atas sana
Kubiarkan bercengkerama... menyampaikan rasanya rindu hati pada angin malam di dekatmu sanaMia tertegun setelah membaca surat kaleng - tanpa nama - itu. Keningnya berkerut dalam karena berhasil dibuat penasaran oleh surat itu. Kira-kira siapa pengirimnya ya?
***
Keesokan paginya di sekolah, Mia langsung menceritakan tentang surat misterius itu pada Dina, sahabatnya. Dan Dina langsung berkomentar aneh-aneh, berkata mungkin itu dari penggemar rahasia Mia-lah, dari pujaan hatinya-lah, dan yang paling mengejutkannya adalah, Dina mengira itu dari sahabat masa kecilnya, Ryan.Iya, Ryan. Anak laki-laki cengeng yang dulu selalu bermain dengannya. Yang selalu setia membuntutinya walaupun Mia sedang bermain boneka sekalipun dengan teman-teman perempuannya yang lain.
Ryan, kira-kita gimana kabar kamu sekarang? Kayak apa kamu sekarang?***
Sore hari itu Mia terpaksa pulang agak sore dari sekolah karena ada rapat ekskul paskibra, dan ditambah lagi harus mampir dulu ke rumah Bu Rina untuk mengambil kue pesanan ibunya.
Mia mendesah pelan sambil menggoyang-goyangkan plastik berisi kotak-kotak kue di tangannya. Ia melewati sebuah danau tak jauh dari kompleks perumahannya. Ia berhenti sebentar, dan menimbang-nimbang. Sepertinya tidak masalah pulang agak larut, toh sekarang memang sudah larut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-cerpen cinta
Historia CortaCerita-cerita pendek senderhana, tentang cinta yang sederhana, tentang cinta yang tak menuntut kesempurnaan. Dan tentang cinta yang tak harus selalu berakhir bahagia.