Manusia mungkin punya seribu satu rencana dalam hidup. Tapi semesta punya cara dan takdirnya sendiri dari Sang Maha Pencipta. Manusia hanya bisa berusaha sembari berdoa, seperti yang dilakukan Renata selama enam bulan ini.
Renata bekerja keras demi membiayai hidup dan kuliahnya sendiri. Tapi meski begitu, tetap saja ada saatnya ia jatuh. Setelah hampir bertahan selama enam bulan bekerja sembari kuliah, tapi tetap saja semua itu tidak cukup ditambah lagi kondisi kesehatan Papanya juga belum kembali membaik.
Aksara juga selalu berusaha membantu keuangan Renata sedikit-sedikit, tapi pada akhirnya perjuangannya juga harus kalah karena kesibukannya merawat Ibunya yang juga masih sakit.
Mereka berdua sama-sama telah gigih berjuang demi hidup, tapi pada semesta, ada kalanya mereka harus mengalah dan menunduk. Mungkin di lain kesempatan jika semesta sedang berbaik hati, mereka akan melanjutkan kembali perjuangannya.
"Udah dong Nan, lo jangan nangis terus," pinta Renata seraya memeluk sahabatnya yang tengah terisak itu.
"Gu... gue b-bener-bener nggak berguna ya jadi sahabat, gue nggak bisa bantuin lo." Di tengah-tengah isakannya itu Kinan terus mengucapkan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya pada Renata. Dia tidak bisa membayangkan sahabatnya itu harus merelakan mimpinya.
Dan seolah tahu kekhawatiran Kinan, Renata pun menepuk-nepuk pundak sahabatnya dan meyakinkannya. "Gue pergi bukan berarti semuanya selesai Nan, gue nggak akan nyerah sama mimpi gue. Mungkin besok gue akan lanjutin lagi kuliah gue."
Kinan melepas pelukan mereka dan menatap Renata dengan tatapan yang tulus. "Gue akan selalu doakan yang terbaik buat lo."
Renata tersenyum dan mengangguk-angguk yakin, kemudian melanjutkan mengemas barang-barangnya lagi yang memang masih berserakan memenuhi kamar kos itu.
Kinan ikut membantu meski masih dengan sesenggukan kecil. Dan setelah selesai mengemas barang-barang milik Renata, mereka memasak mie instan untuk makan malam bersama ala anak kos. Kinan berencana menginap di kos Renata karena ingin mengantar sahabatnya ke stasiun besok pagi.
"Aksara gimana, Nat? " tanya Kinan di sela-sela kegiatan makannya.
Ah iya, Aksara. Memikirkan sahabatnya yang satu itu tiba-tiba membuat Renata kembali diserang rasa sedih dan rindu. Bahkan Renata belum sepenuhnya pergi dari kota yang terkenal akan budaya dan seninya ini, tapi Renata sudah merasakan rindu yang amat sangat. Termasuk pada Aksara. Lalu bagaimana jika dia sudah benar-benar meninggalkan Jogja nanti? Mungkinkah rasa rindu akan kota ini, sahabat-sahabatnya di sini, akan menjadi sahabat barunya nanti yang menemaninya setiap hari.
"Lo udah kasih tahu Aksara?" lanjut Kinan lagi menyadarkan Renata dari lamunannya.
Renata memaksakan senyumnya. "Iya, aku udah kasih tahu tadi pagi, katanya dia juga mau ikut nganterin nanti."
"Harus dong!" balas Kinan tegas. "Nggak tahu diri banget tuh anak kalau sampai nggak ikut nganterin."
Renata hanya bisa memaksakan tawa sumbang mendengar hal itu, karena pada kenyataannya, mau Aksara ikut mengantarkannya atau tidak. Perpisahan itu tetap ada di depan matanya dan harus dihadapinya.
***
Keesokan paginya mereka berangkat ke stasiun, dan Farhan, pacar Kinan ikut menyusul tak lama kemudian. Mata Renata sempat mengedar ke belakang Farhan mencari-cari sosok Aksara, tapi Renata sama sekali tidak menemukannya. Farhan yang menyadari kegelisahan Renata pun merasa sedikit bersalah.
"Sorry Ren, gue nggak bareng sama Aksara."
Renata tersenyum mengerti dan mengangguk-angguk. Ia kembali duduk di bangku dan menatap ke arah kereta yang akan berangkat sepuluh menit lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerpen-cerpen cinta
Short StoryCerita-cerita pendek senderhana, tentang cinta yang sederhana, tentang cinta yang tak menuntut kesempurnaan. Dan tentang cinta yang tak harus selalu berakhir bahagia.