3

303 34 3
                                    

Suara teriakan disertai tancapan memilukan menggema sepanjang lorong dimana aroma medis berasal. Warna merah pekat tersebar di mana-mana mengotori dinding dan lantai. Pun dengan bau amis menguar dari tubuh yang kini tak berjiwa.

Terlihat siluet pria yang tengah berdiri, di tengah lautan mayat bersimbah darah. Tengah menghirup aroma besi berkarat di sekitarnya dengan kedua mata terpejam kuat.

Aroma candu yang sudah lama tak ia hirup.

"Nikmat."

Kelopak matanya kembali terbuka, menampilkan iris semerah darah miliknya.

"Sudah lama rasanya tidak menguras habis darah manusia."

Kaki telanjangnya mulai bergerak santai. Namun ketika irisnya menangkap sesuatu, langkahnya terhenti.

Sebuah kalender terpampang di depan matanya. Menunjukkan deretan angka.

"2017? Aku tertidur di tahun 1995. Jadi sekitar 22 tahun berlalu ya?" gumamnya. "Selama itukah aku tertidur?"

Setelahnya decakan tak peduli keluar dari bibir pucat dengan jejak darah tertinggal. "Masa bodoh dengan hal itu. Aku harus menyelesaikan misi. Target terakhir harus dihabisi."

Tungkainya kembali melangkah, semakin masuk ke dalam gelapnya lorong. Meninggalkan rumah sakit tanpa rasa bersalah sedikitpun yang menghinggapinya setelah menghabisi nyawa ratusan orang didalam disana.

"Habisi mereka yang memiliki darah campuran,baik mereka yang sudah dewasa ataupun masih bayi. Jangan biarkan mereka bernapas."

"Target terakhir, bayi dari pasangan Seo Hana dan Kim Seokjin,"

"dimana kau sekarang, bayi kecil?"

©Blood,Sweat,and Tears©


Dalam kebisingan jalanan ibukota, ditemani terik matahari, semilir angin yang menerpa, serta rentetan bunga Lilac di sisi trotoar. Park Lucy dan juga Park Jimin terduduk santai di kursi luar mini market.

Tak lupa juga dua cup ramen dan dua gelas coklat panas bertengger manis di meja, menjadi sumber penghangat tubuh mereka ditengah musim semi ini.

"Wajahmu sembab. Kau habis menangis?"

Lucy jelas bertanya tanya tentang apa penyebabnya ketika melihat kedua mata Jimin memerah.

Tapi, hey! Mana mungkin Jimin menangis? Meskipun itu mungkin saja, tapi benar-benar bukan gaya Jimin sekali.

"Tidak. Ini hanya karena kelilipan saja." jawab Jimin datar. "Cepat makan mie nya, sebelum dingin."

Lucy mengangguk patuh. Segera, dirinya menyantap mie di hadapannya dengan rakus. Masa bodoh dengan image,aku belum sarapan sedari tadi, dan aku benar-benar lapar! Lagipula, hanya ada Jimin saja disini. Jadi kenapa aku harus malu? Yang penting perut kenyang!

Blood, Sweat, and Tears [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang