Bab 8. Putih Abu-abu (Sapu tangan)

782 52 11
                                    

Sore itu, angin bertiup cukup kencang. Membuat tubuh laki-laki itu kedinginan. Ia merapatkan jaketnya. Kemudian memainkan handphone-nya, sekedar untuk bermain game. Sudah hampir 10 menit ia menunggu. Biasanya ia sangat membenci menunggu, namun entah mengapa kali ini berbeda. Ia sedikit senang menunggu. Aktivitas baru yang mulai akhir-akhir ini di sukainya. Menunggu kepastian.

"Gue akan nunggu lo, Sal.." batinnya. Mata elangnya tak bosan memperhatikan sekeliling. Barangkali wanita yang di tunggunya datang.

Selang beberapa menit, mata laki-laki itu sedikit terbelalak. Melihat siapa yang sedang melangkah kearahnya. Ia menelan ludah, menetralkan kinerja jantungnya yang berdegup kencang. Saking kencangnya membuat laki-laki itu sedikit berkeringat dingin.

"Haduh, ini jangung gue rasanya mau lari!!! Gue harus gimana nih ? Dia denger nggak yah suara jantung gue yang jedag-jidug kayak gini ? Gimana kalau dia denger ? Gimana gue jelasin  
? Gawat!!! Kenapa rasanya gue ingin pingsan sekarang. Aduh, kira-kira ada yang bakal gotong tubuh gue nggak yah kalau gue pingsan di sini ?" Ardhan sibuk dengan pemikirannya. Pemikiran yang hanya membuat laki-laki itu parno setengah mati. Pemikiran konyol, yang melelahkan.

(Astaghfirullah, ada-ada aja kamu ini Dhan. Kemarin kantung doraemon,  Eh sekarang jantung ? Kira-kira dong Ardhan😪 kalau jantung lari, yah itu yang punya si jantung innalillahi dong Dhan😁)

Ardhan semakin panik, gadis bercadar itu semakin mendekat kearahnya.
Dag...
Dig...
Dug..
Derrr!!!..
Suara jantung Ardhan. Melihat sang bidadari hati berjalan mendekat ke arahnya.

Eistttt!!!! Tapi....
Bukan menghampirinya sih, lebih tepatnya sepeda buntut di sampingnya itu.

Doeng!!!

Ardhan gugup, kenapa ia terlalu PD.

(Yaelah Dhan, udah paniknya nggak lazim. Eh tahunya nggak nyamperin kamu😁 kalah saing sama sepeda buntut😂 sabar Dhan, lain kali jangan terlalu KePD-an dulu ye😂 sama itu tuh, perutnya tolong di kondisikan..😁)

Aku berjalan sedikit cepat dan menunduk, tanpa memperhatikan sekitarku. Dengan bibir yang komat kamit berdzikir.

"Lo baru pulang ?" suara barithon mengagetkanku. Aku menoleh.
Siapa ?? Aku kaget, melihat sosok yang kini tengah berdiri di hadapanku.

Ardhan ? Kenapa dia disini ?? Apa yang dia lakukan ??

"Iya." jawabku singkat. Aku memperhatikan sekeliling. Tidak ada orang lain, selain kami. Aku menelan ludah. Segera mungkin aku harus cepat-cepat mengambil sepedaku. Kemudian berusaha menghindari tubuh tinggi laki-laki itu agar tak menabraknya.


"Eh, soal yang tadi siang itu...gue minta maaf." kaku. Terlihat sekali laki-laki itu gugup.

"Saya sudah memaafkan kamu, lagian kamu nggak salah. Seharusnya saya bisa menepati janji. Saya minta maaf." masih menunduk. Ardhan terdiam. Hatinya serasa punya sayap. Dan terbang ke awan menembus langit biru. "Saya pulang dulu, in syaa allah besok sapu tangan dan hutang-hutang saya akan saya tepati." aku menuntun sepedaku, menjauh dari laki-laki itu.

Cinta di antara Tilawah dan Do'aTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang