Chilla menegang. Mertuanya baru saja masuk ke dalam ruang makan dengan membawa potongan bunga. Perempuan itu terburu-buru menghampiri ibu mertuanya dan mencengkram lengan mertuanya. "Mama apa-apaan?!"
Mertua Chilla terkejut. Bukan hanya karena cengkraman pada lengannya tapi juga tatapan Chilla yang terlihat begitu marah dan tajam kepadanya.
Perempuan itu bahkan sudah mengambil bunga-bunganya dengan nafas tersengal. Chilla tanpa sadar sudah meneteskan air mata dan bibirnya bergetar. "Mama apa yang Mama lakuin ke Anya aku?"
"Chilla, Mama cuma..."
"MAMA NGAPAIN SENTUH-SENTUH ANYA AKU?!"
Bentakan dari ruang makan tentu saja menarik perhatian anggota keluarga lain yang kemudian buru-buru mendatangi Chilla.
Raka yang tahu istrinya sangat menyayangi bunga Anyelir itu segera mendekat dan merangkul istrinya, "Sayang, Mama gak tau. Hey..."
Chilla menggelengkan kepalanya, memeluk bunganya bahkan menyentuh pelan-pelan kelopak bunga di dalam pelukannya seolah-olah bunga-bunga itu sangat rapuh. "Anya..." isak perempuan itu
"Mama ambil karena masih seger, Ka. Mama gak tau kalo Chilla jadi begini..." ucap ibu mertuanya dengan nada yang khawatir. Jelas saja ibu mertuanya khawatir, menantunya ini sedang hamil dan perempuan ini begitu bergetar tadi ketika menemukan bunganya yang dia potong, "Mama kira itu bunga hiasan..."
Raka mengelusi lengan istrinya yang masih bergetar, "Ah, itu bunga kesayangan Chilla, Ma. Maaf, ya. Raka belum bilang sama Mama. Chilla sayang banget sama bunganya..."
"Mama kira cuma bunga biasa..."
Chilla menegang. Dia menatap nyalang kepada ibu mertuanya. Bunga biasa? Anaknya dianggap bunga biasa? Yang benar saja. "Mama udah nyakitin Anya dan Mama bilang itu cuma bunga biasa?!"
"Chil..." Raka menegur dengan cukup tegas kepada perempuan itu. Bisa-bisanya hanya karena bunga Chilla menjadi tidak sopan kepada ibunya. "Chill, kamu boleh ya sebegitu sayangnya sama bunga itu tapi gak boleh gak sopan gitu sama orang tua!"
Perempuan itu beralih menatap nyalang kepada suaminya, "Mama kamu udah nyakitin Anya, Ka! Dia nyakitin anak aku!"
Astaga. Raka menatap dengan bingung dan juga marah disaat bersamaan. "Please lah, Chill. Itu cuma bunga biasa. Iya aku tau bunga itu kamu rawat, tapi itu cuma bunga. Nanti dia berbunga lagi, Chilla..."
Chilla yang sudah menangis sesenggukkan menepis tangan Raka dan memilih keluar dari ruang makan, menuju ke pot tanaman tersayangnya dan mengecek kondisi bunganya. Dia masih saja terus sesenggukkan sambil meneliti tangkai-tangkai yang mengeluarkan getah.
Raka juga anggota keluarga lainnya menyusul dan memperhatikan Chilla yang menangis dan bergumam meminta maaf pada bunganya.
Mama Chilla mengajak besannya untuk bicara mengenai putrinya dan menjelaskan kalau bunga itu sudah Chilla rawat bertahun-tahun lamanya dari bibit hingga seperti sekarang. Jadi dia bisa mengerti kenapa Chilla seperti itu dan meminta maaf kepada besannya.
Adik-adik Chilla, Evelyn juga Devon menatap bingung kepada kakaknya dan menghela nafas. Sedangkan Kris melirik adiknya yang tampak marah kepada istrinya itu.
"Kak Raka, kayaknya kak Chilla udah gak beres deh..." ucap Evelyn sambil menggulung lengan kemejanya, gadis itu mencoba mendekati kakaknya tapi kemudian diam kembali karena Chilla menangis sesenggukkan
Devon kemudian menghela nafas, "Dulu malah sampe sakit. Gue gak ngerti lagi sama dia. Yang sabar aja, Ka. Chilla emang rada-rada kalo soal bunganya..."
Raka yang ditinggalkan sendirian kemudian mendekati istrinya dan membelai puncak kepala Chilla dengan lembut. "Chilla..."
"Mama kamu nyakitin Anya, Ka..." isak Chilla kemudian meletakkan potongan bunganya kembali diatas tangkai-tangkai, "Sakit, ya? Maafin Mama ya sayang..."
Raka menghela nafas, "Chilla, udah. Nanti dia tumbuh lagi. Jangan kayak anak kecil gini dong, cuma karena bunga..."
"Cuma bunga kamu bilang?!" Chilla menepis kembali tangan Raka, bibirnya bergetar pelan dan kemudian kembali marah kepada laki-laki itu, "Ini anak aku, Ka! Kamu gak ngerti! Kamu gak tau!"
"Iya, udah!" Raka membentaknya, cukup keras sampai Devon kembali berdiri di pintu untuk melihat kedua orang itu, "Udah, Chill. Kita rawat lagi, oke?"
Chilla masih saja sesenggukkan dan terduduk dengan lemas memluk pot bunganya, "Maafin Mama ya... Anak aku, Ka..."
Raka menaikkan satu alisnya. Mengeraskan rahangnya karena dia mencurigai sesuatu. Apakah Chilla menggugurkan janinya dan mengubur janin itu di dalam pot bunga miliknya? Pria itu mendengus, sebegitu istimewakah janin pria tidak dikenalnya itu bagi Chilla? Egonya terluka begitu saja.