Terlahir Indigo - 1

3.5K 226 15
                                    

TERLAHIR INDIGO

BAGIAN TIGA

TERLAHIR INDIGO

👀👀👀

1

Alya Pov

"Good morning!"

Dalam keadaan terlelap, aku merasakan tepukan pelan di pipiku. Aku merubah posisiku dari tidur menjadi duduk seraya menguap lebar, perlahan-lahan aku membuka kedua mataku yang masih terasa sangat berat.

"Hmm... Aku masih mengantuk."

Aku sebal kepada seseorang yang membangunkanku, siapapun itu.

"Ayo, bangun! Hari ini hari terakhir liburanmu, kau lupa bahwa kita sekeluarga akan pergi piknik?"

Mendengar kata piknik, aku langsung membuka kedua mataku lebar-lebar. Bibirku tersenyum kecil kala mengetahui ternyata ayahku yang membangunkanku, ah, aku tidak jadi sebal.

Ayahku keluar dari kamarku. Tanpa diperintah, aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Setelah mandi, aku mengecek semua keperluan untuk dibawa piknik.

Aku turun dari kamarku yang berada di lantai dua dengan riang gembira. Masa bodoh jika besok aku kembali bersekolah dengan status senior, sekarang yang terpenting adalah menghabiskan hari terakhir liburan dengan riang gembira.

"Pagi, kakak!" Sapa Juna-adikku- yang kini sedang mengunyah roti bakar selai coklat meses.

"Pagi juga!" Aku berjalan mendekatinya dan mengacak rambutnya pelan yang dibalas decakan olehnya, Ia tidak suka jika rambutnya disentuh.

"Semalam ada seseorang ke sini, Ia mengaku sebagai temanmu."

"Oh, ya? Laki-laki atau perempuan?" Sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil yang selalu menanyakan gender seseorang yang mengunjungi ke rumahku.

"Laki-laki," Juna menaik-turunkan alisnya, "ia tampan, tapi masih tampan aku."

Aku mengangguk pelan sembari ber-oh ria.

"Ah, kalau tidak salah namanya El."

Dapat kurasakan wajahku memanas, mungkinkah wajahku memerah hanya karena adikku menyebut nama El?

Berbicara tentang El, semenjak Elisha melarang El untuk tidak terlalu dekat denganku, posisi tempat duduk El kini tak lagi di sampingku. Namun aku dan El tetap berkomunikasi dan terkadang pergi ke luar bersama, tetapi aku tak lagi mengunjungi rumah El.

"Semalam El ke sini? Mengapa kau tidak memberitahuku?" Tanyaku kesal.

"Karena aku malas memanggilmu, jadi aku bilang kepada El kalau kau sudah tidur."

Aku memukul pelan lengan Juna, Juna membalasnya dengan menjulurkan lidahnya mengejekku.

"Juna! Alya! Ayo berangkat sekarang!" Teriak mamaku dari luar.

Tanpa basa-basi, Aku dan Juna segera menuju mobil yang akan kami naiki.

Sesaat sebelum Aku menutup pintu mobil, Juna bertanya. "Kau suka dengan El, ya?"

Aku terpaku mendengar Juna bertanya seperti itu kepadaku, sejenak Aku berpikir jawaban yang tepat untuk menjawabnya.

Aku tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. Kupikir jawaban itu adalah jawaban yang tepat.

👀

Aku mencoba membuka kedua mataku yang terasa sangat berat, semakin kuat usahaku untuk membuka mataku, semakin kuat pula sakit yang menjalar di seluruh tubuhku.

Dapat kurasakan jemari lembut menggenggam tangan kananku, jemari yang familier. Jemari adikku, Juna.

Perlahan tapi pasti, kedua mataku membuka. Mataku terasa perih kala sinar lampu menyorot mataku. Pandangan yang awalnya buram, kini perlahan menjadi jernih.

"Kak? Kakak udah sadar?"

Juna bangkit dari duduknya, Ia memelukku erat lalu melepasnya. Dapat kulihat perban melilit kepalanya, hal itu tidak membuat ketampanan adikku berkurang.

Ia tersenyum manis kepadaku, seolah-olah senyuman itu dapat menyembuhkan rasa sakit yang bertubi-tubi di sekujur tubuhku.

"Ru-rumah sakit?" Tanyaku terbata-bata, hanya itu yang bisa kuucapkan.

Juna mengangguk pelan, Ia mengusap pipinya yang basah karena air mata.

Dokter dan beberapa susternya serta kedua orang tuaku masuk ke ruanganku. Salah satu suster meminta kedua orang tuaku serta adikku untuk keluar dari ruangan ini.

Selama Dokter serta suster-susternya memeriksa keadaanku, pikiranku melayang-layang berusaha mengingat kejadian yang menimpaku sebelum masuk ke dalam ruangan putih steril ini.

👀

Kurang lebih selama satu minggu, aku dirawat di rumah sakit. Kata dokter, hari ini aku sudah diperbolehkan untuk pulang.

Tangan kiriku yang mengalami patah tulang ringan pun belum sembuh, dan bekas jahitan di kepalaku terkadang masih terasa sakit. Dokter berpesan bahwa aku harus cukup beristirahat untuk memulihkan keadaanku.

Aku duduk di kursi roda, mamaku mendorongnya. Kedua orang tuaku serta adikku selalu bercerita hal jenaka yang membuatku tertawa. Walaupun sebenarnya aku tahu maksut mereka, supaya aku tak trauma dengan kecelakaan yang kualami.

"Hei! Mengapa kau sendirian? Di mana orang tuamu?" Tanyaku kepada seseorang anak kecil yang sedang duduk di bangku dengan boneka tedy bear di tangannya, namun boneka tersebut hanya memiliki badan saja, tak ada kepalanya.

"Kau berbicara dengan siapa?" Tanya Juna kepadaku.

"Kau tak melihatnya? Tadi ada anak kecil menangis sambil membawa boneka tedy bear, Ia duduk di bangku sa- lah? Kok tidak ada?" Aku terkejut kala melihat bangku itu kosong, tak ada anak kecil duduk di sana.

"Sudah-sudah, mungkin Alya salah lihat." Kata ayahku sambil tersenyum, senyum itu terlihat dipaksakan.

Selama perjalanan menuju rumah, pikiranku terus melayang kepada anak kecil tadi.

Padahal setelah aku bertanya tadi, jelas-jelas anak kecil itu tersenyum manis kepadaku.

Senyum yang menunjukkan deretan giginya yang patah, darah segar pun mengalir dari sudut bibirnya.

👀👀👀

AN

Setelah sekian lama gantung, akhirnya update :')

Don't forget to vote and comment!

24 Maret 2018
See You Next Chapter
-Ashgombal
👀

Terlahir IndigoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang