Di sebuah kamar mewah dan penuh barang-barang mewah dan mahal bernuansa hitam-putih dan ranjang berukuran king size. Sprei bermotif seperti bidak catur menyelimuti seonggok daging mungil berjenis kelamin wanita. ya itulah rara, Gadis yabg satu minggu lalu genap berusia 18 tahun itu masih terlelap di kasur kesayangannya. Entah apa yang gadis itu mimpikan, dan sepertinya ia bermimpi Indah.
Tok tok tok
"Non!" Suara lembut bi aan, merambat melalui udara sejuk kamar ber-ac menuju gendang telinga rara. Namun saking terlelapnya gadis itu, panggilan bi aan pun tak di gubrisnya.
"Non, ayok bangun, udah siang nih" bi aan rupanya tak mudah menyerah, ia akan terus mencoba hingga gadis itu benar-benar bangun dari tidurnya.
"Bi' aan ih! Orang masih ngantuk juga, sekarang kan weekend Bi!" Suara parau gadis 18 tahun itu terdengar lemah, keadaannya yang masih setengah sadar.
"Weekend sih weekend non, coba liat ini jam berapa" Ujar bi aan seraya mendekatkan jam alarm merah milik rara kehadapan wajah sang pemilik jam.
"Omegot!! Biiiiiiiik! Kok rara ga di bangunin sih!" Rara tak kalah kagetnya. kaget, kesal dan ingin menangis bercampur aduk. Seraya menjambak rambutnya, rarapun benar-benar menangis seperti anak kecil.
Sedangkan bi aan hanya memandangnya dengan penuh tanda tanya di benaknya, kemudian mendekati gadis dengan rambut kemerahan yang sekarang berantakan tak karuan bentuknya itu.
"Bi' gimana dong, rara ga ada duit lagi hiks!" ujar rara masih dengan air mata berlinang di kedua pipinya.
"Emang kenapa si non?, coba cerita ke bibi' siapa tau bibi' bisa bantu" ujar bi' aan dengan nada lembutnya yang mampu membawa ketenangan seketika.
"Rara ketinggalan pesawat bi', pesawatnya berangkat 2 jam yang lalu dan tiketnya angus dan rara ga punya duit lagi buat beli tiket lagi" tutur rara, murungnya masih Setia menempel di wajahnya, air matanya masih berlinang deras di wajahnya yang kemerahan.
"Ya sudah, nanti biar bibi' bilangin ke nyonya siapa tau mereka mau ngerti" bi' aan mengelus Puncak kepala gadis yang tengah menangis tersedu-sedu itu.
"Rara takut di marahin papa bi', rara takut" tangisnya kian menjadi, bi' aan juga makin cemas di buatnya. Apa boleh buat bi' aan hanya bisa pasrah dengan kemanjaan si nona.
Sedangkan di tempat yang sangat jauh dari tempat rara berada...
"Rara hpnya kok ga aktif ya pah?" Ujar rani sang mama penuh cemas, seraya mondar-mandir tak karuan mengingat ia sama sekali tidak mendapatkan kabar dari anak semata wayangnya.
"Biasanyakan rara juga kalo ngecas hp ga pernah di aktifin tuh, palingan dia langsung berangkat sampai lupa ngaktifin hp nya" ujar Bambang, kemudian ia langsung meraih secangkir kopi hitam favoritnya dan tentu saja kopi itu buatan istri tercintanya.
"Tapi masa dia lupa ngaktifin hp nya, biasanya kalo hp dia ga pernah lupa toh" ucap rani tak mau mengalah, masih mondar-mandir tak karuan seperti sebelumnya.
"Hmm, iya juga sih" kembali menyeruput kopi hitamnya
"Mama ga capek apa mondar-mandir kayak gitu, pusing tau papa liatnya!" Kemudian Bambang melanjutkan percakapannya yang tertunda karena kopi hitam di hadapannya yang begitu menggoda."Orang lagi khawatir sama anak! Gimana sih papa ini!, papa tuh yang terlalu santai!" tukas Rani, emosinya kini meluap Bahkan matanya kini mulai berkaca-kaca lantaran sang suami yang dengan tenangnya duduk manis sambil menikmati kopi hitamnya. padahal anak sematawayangnya tak ada kabar sama sekali.
"Mama pikir papa ga khawatir?, papa khawatir ma!, tapi di banding ini papa lebih khawatir sama sikap rara yang seperti sekarang. Manja, pemalas, tidak punya pendirian, mau jadi apa anak itu kalau sudah dewasa nanti?!" mendengar penuturan sang suami, Rani hanya bisa tertunduk malu, ia sadar selama 18 tahun menjadi seorang ibu, ia masih belum becus menjadi seorang ibu yang baik.
Dari sejak rara masih kecil, Rani sudah memanjakan rara, karna dari dulu Rani sangat menginginkan seorang anak, rara lahir di tahun pernikahan Rani dan bambang memasuki usia ke enam tahun. Maklum 6 tahun lamanya Rani menantikan kehadiran seorang anak. Namun kebahagiaan Rani yang luar biasa itu malah membuat sifat rara menjadi tidak baik, karna sudah terbiasa di perlakukan bagai seorang Putri, membuatnya melakukan hal yang semena-mena terhadap teman-temannya yang berstatus sosial rendah. Tidak hanya itu rara pun ikut terjerumus ke dalam trend anak muda jaman sekarang, suka belanja ke mall bersama teman-teman konglomeratnya yang juga memiliki sifat dan kebiasaan yang sama dan barang yang di beli juga cenderung barang-barang yang tidak terlalu penting.
"Coba ingat lagi ma, bagaimana anak kita itu hidup, penuh gaya, bisanya cuma foya-foya, aurat di umbar kemana-mana, disuruh pakai jilbab alesannya segudang. sudah becus kita menjadi orang tua?" Hati Rani semakin remuk, sakit sekali rasanya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya, ingin rasanya ia marah, membentak, meluapkan emosinya, tapi dia tidak bisa. Karna segala perkataan yang keluar dari mulut suaminya itu adalah benar.
"Kalau kita mati, sanggupkah kita mempertanggung jawabkan ini di hadapan allah?" Pertanyaan itu membuat Rani tersentak, kini air matanya benar-benar mengalir. Pelupuk matanya terpejam sembari mengingat kembali 18 tahun yang lalu.
"Pa, maafin mama selama ini mama ga pernah becus jadi orang tua. Huuu.. huuuuu.." Rani pun menangis sejadi-jadinya, kemudian tangan hangat Bambang, maraih kemudian memeluk sang istri.
"Sudahlah ma, itu sudah masalalu, sekarang kita harus bertindak untuk memperbaiki dan meluruskan jalan anak kita satu-satunya" ujar Bambang kepada istrinya. Kemudian perlahan tangisan Rani mereda setelah mendengar nada suara Bambang kembali normal.
"Papa ada satu rencana" tiba-tiba bambang berbisik di dekat telinga Rani.
"Rencana apa pa?!" Tanya Rani, dan kini ekspresinya berubah menjadi ekpresi penasaran setengah mati, terlebih ketika melihat Bambang tersenyum mencurigakan.
Jangan lupa vote, comment, and follow gaes...
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Zahra
SpiritualIni cerita tentang gadis bernama zahra yang memilih untuk berhijab...