Seorang putra apalagi satu-satunya akan di sambut dengan hangat saat pulang ke rumahnya setelah sekian lama. Rumah, tempatnya di lahirkan, besar dan mulai mengenal dunia.
Ya, seharusnya memang begitu namun Tanjung merasa sambutan hangat itu hanya sebuah ilusi yang harus ia buang jauh-jauh.
Pulang adalah kata yang Tanjung hindari bertahun-tahun, bukan karena benci namun kata rumah menjadi begitu pahit saat segala yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.
Jika saja kakak perempuannya tidak menelponnya sambil menangis terisak, Tanjung tidak akan pernah memarkirkan sepeda motornya di depan rumah mewah dengan pagar putih bersih di lingkungan perumahan elit itu.
"Ya ampun den Tanjung" Pak Jumardin satpam rumahnya begitu terkejut saat Tanjung mengetuk pos jaganya, lelaki pertengahan 50 tahunan dengan logat jawa kental itu berlari membuka pintu pagar dan mempersilahkan Tanjung masuk.
"Den Tanjung" Pak Jumardin berkaca-kaca.
"Eitss jangan nangis, saya pergi lagi nih" Ancam Tanjung yang membuat Ema berdecih karena mengingat kejadian di rumah sakit, Tanjung juga mengancamnya melepas infuse jika Ema menangis.
Tanjung dan senjata ancamannya membuat siapa saja menurut.
"Jangan den, masuk. Non Tari di dalam dari kemarin nangis terus, gak mau keluar kamar" Adu pak Jumardin.
"Ayah di rumah?" Air wajah Tanjung yang tersenyum berubah dingin kala mengeluarkan pertanyaan itu.
"Belum pulang den"
"Ya udah" Tanjung menarik nafas lalu menatap Ema di sampingnya "Mau ikut masuk atau di sini aja sama pak Jumardin, ngegosip?" Tanyanya.
"Mau ngegosip apa coba Ema sama satpam rumah kakak?" Ema balik bertanya.
Tanjung terkekeh,
"Ya apa aja, pak Jumardin tahu semuanya-"
"Iya non, saya udah kerja 25 tahun di sini, bahkan sebelum den Tanjung lahir. Non tinggal tanya, bapak pasti jawab" Potong pak Jumardin.
Hem, Menarik juga. Pikir Ema, lagi pula untuk apa dia masuk ke rumah Tanjung saat kakaknya sepertinya punya masalah yang tak patut Ema campuri.
"Ya udah, Ema di sini aja. Kakak masuk gih sana" Ema tersenyum seolah mengisyaratkan pada Tanjung tidak perlu mengkhawatirkannya.
"Pak Jum, dia Ema. Alien yang saya pungut di mall, jangan sampe lecet. Udah ga ada di Makassar nih samanya, musti ke Mars carinya"
Tanjung dan candaanya hanya bisa membuat Ema tertawa canggung dan pak Jumardin menyengir kurang paham setelah pemuda itu masuk ke dalam rumahnya.
"Jadi non Ema tinggal di Mars?"
"Enggak pak, saya tinggal di Mandai"
🏝🏝🏝
Tok Tok!"Kak, ini Tanjung. Buka pintunya"
Pintu berwarna putih milik Lestari kakaknya terbuka perlahan menampilkan perempuan berperawakan mungil itu dengan mata bengkak dan penampilannya yang berantakan.
"Tanjung" Tari langsung berhambur ke pelukan adik lelakinya itu lalu kembali menangis sendu.
"Kakak kenapa? Hem?"
"Hhhhhh sakit dek" Tari melepaskan pelukannya lalu memperlihatkan lebam di lengan dan pahanya.
"Juno mukulin kakak lagi, kakak mau cerai tapi Ayah ngelarang, malah Ayah hhhhhh Ayah nampar kakak. Rasanya kakak udah kayak sampah di mana-mana"
KAMU SEDANG MEMBACA
TANJUNG
General FictionThis works is protected under copyright laws of Indonesia. =============================== "Jadilah pantai ku, kelilingi aku, tetaplah di samping ku." Tanjung Enggar Ismail mahasiswa semester 12, seniornya senior, legend, and the last one adalah ju...