3. Kepingan Hati

5.1K 212 1
                                    

"Bentar, jangan bilang lo belum move on dari tuh laki-laki?!"

"Gilak apa. Gue udah hilang rasa sama Arnav dari kejadian itu, Ay." Vania kembali meyakinkan perempuan dihadapannya setelah bercerita apa yang telah dia alami beberapa hari yang lalu.

Perempuan itu melirik ragu setelah mendengar sahabatnya hampir tidak bisa melakukan operasi untuk pertama kalinya, hanya dengan alasan konyol.

"Gue serius, Ay. Kemarin mungkin gue syok aja setelah sekian lama ternyata gue-masih sakit hati." Vania tahu arti tatapan perempuan bernama Anya Oktavia, yang menjadi sahabatnya itu.

"Terus sekarang apa yang lo rasain setelah semua kerjadian kemarin? Lo bukan hanya ketemu tuh laki-laki brengsek, Van. Lo juga ketemu bini dan anaknya."

Jeda beberapa saat Vania menghela napas beratnya, "gue kayak kepental ke waktu masa lalu, Ay. Lo tahu kan secinta apa gue sama Arnav dulu, dia begitu mengagumkan di mata gue. Impian masa kecil gue hampir terwujud karena dia." Vania berhenti sejenak sebelum melanjutkan.

"Tapi semua itu udah enggak ada, Ay. Gue udah lupain dia sepenuhnya, tapi tidak dengan sakit hati gue. Dua tahun yang gue kira cukup, ternyata kurang. Kemarin gue beneran sakit hati, Ay." Vania frustasi dan menenggelamkan kepala di antara kedua tangannya yang bertumpu atas di meja restaurant.

Anya masih diam, "tapi saat gue ingat wajah dan mata putri kecilnya, entah kenapa gue enggak ngerasa sakit seperti saat pertama kali gue lihat wajah Arnav di meja operasi." Vania kembali mendongakkan wajahnya.

"Gue ngerasa kalau gue harus bisa berdamai dengan rasa sakit hati gue sendiri. Tapi susah, Ay. Susah banget." Anya tersenyum, dia seperti melihat Vania beberapa tahun lalu saat dia frustasi akan kisah cintanya yang hancur seketika-walaupun tidak separah dulu.

"Van, lo enggak mau nyoba buka hati lagi gitu?" entah dapat keberanian darimana sampai Anya melontarkan pertanyaan itu.

Vania menatapkan tajam, "bisa-bisanya lo nyaranin gue kek gitu, Ay?"

"Bukan gitu maksud gue, Van. Gini, dengerin gue bentar oke." 

"Gue tahu lo udah move on dari Arnav, tapi lo masih sakit hati karena kejadian dulu. Sampai-sampai lo menutup hati selama lebih dari dua tahun ini. Kalau lo coba membuka hati pelan-pelan, lo akan merasakan jatuh cinta lagi dan lo enggak akan merasakan sakit hati."

"Alah, semua cowok sama aja." Vania menanggapi sambil mengibaskan tangan kanannya.

"Astaga, enggak semua cowok itu kayak Arnav, Van."

"Lah, lo dulu yang bilang kayak gitu ke gue." Ucap Vania membela diri.

"Itukan dulu waktu gue masih labil. Akan ada waktunya dimana kita ketemu dengan orang yang tepat, Van. Dan kalau dari kita sendiri tidak memberikan peluang, gimana orang tepat itu akan masuk ke dalam kehidupan kita?" Kali ini Vania mendengarkan Anya dengan serius, ada sedikit persetujuan dalam hatinya yang sulit dia ungkapkan.

"Van, enggak baik menutup hati karena rasa sakit. Hati lo juga perlu bahagia, jangan terlalu memaksakan kapasitas otak saja." Vania terdiam, dia berusaha mencerna apa yang sudah sahabatnya itu katakan.

"Salah satunya, mungkin lo bisa coba kenalan dengan cowok yang dijodohkan sama lo." Tembak Anya dengan pembicaraan yang membuat Vania sontak terkejut.

"Bentar, lo tahu darimana kabar perjodohan yang enggak jelas itu?"

"Kemarin gue pergi ke butik Tante Arini, biasa ambil pesanan nyokap. Dari situ beliau cerita tentang perjodohan lo sama anak temannya Om Tiyan." Terang Anya yang membuat kepala Vania kembali pening seketika.

Perfect Love (Angkasa Kehidupan_Completed✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang