"Seseorang harus yakin dengan semua pilihannya, terlebih pilihannya tentang perasaan. Ia harus tahu bagaimana cara memperlakukan kekasihnya. Apabila ia menyakiti sang kekasih, sama saja ia tidak menghargai dirinya sendiri."
- Febrian Agustaf
Seandainya saja mama tahu kalau hati aku saat ini sudah sangat hati-hati untuk menjaganya, bukan karena ragu dengan dia yang memberikanku rasa sepenuh hati tapi lebih sangsi dengan diriku sendiri. Dan semua itu tidak mungkin akan aku sharing ke orang lain, setidaknya aku ingin mencoba menyelesaikan bidik masalahnya sendiri. Bukan karena kata orang tapi kata hati.
"Ssttt! Udah gak usah ngomongin orang, tuh anaknya dateng," Abang mengecilkan suaranya sembari menunjuk arah teras, "Yang penting kalian sama-sama suka mah jalanin aja, Dek" bisiknya.
Hari kedua bertemu dengan rumah untuk hatiku ternyata tidak langsung membuatnya lupa bagaimana rasanya merindu, terus merindu dan akan merindu lagi. Seketika aku langsung mengikat rambut yang masih berantakan dan menemuinya. Saat kutemui, ternyata laki-laki berambut ikal itu sedang asyik dengan Rayyan keponakanku yang umurnya baru genap satu tahun.
"Kamu gak bilang mau ke rumah pagi-pagi,"
"Buat apa?"
"Seenggaknya aku mandi dulu.."
"Orang aku nyamperin Rayyan, bukan kamu"
"Oh"Bola mata Bian yang hitam sempurna itu melirik badanku yang masih lengkap dengan babydoll polkadot berwarna pink. Bian menggelengkan kepalanya dan aku refleks menutup bagian dada "Apa!?" ketusku sambil mundur satu langkah.
Bian mencoba berdiri diikuti dengan menggendong Rayyan. Berjalan pelan-pelan menghampiriku, "Buruan mandi, yang boleh liat kamu berantakan cuma aku" ucapnya lembut, sementara tangan kanannya lihai merapikan poniku.
Aku segera bersiap-siap karena rencana awalnya aku dan Bian akan membayar hutang selama tiga bulan kemarin. Sekadar berjalan-jalan sampai menanti datangnya senja, sepertinya menjadikan hari yang menarik.
Sementara aku mandi, Bian melanjutkan bermain dengan Rayyan dan Leo. Agak sedikit bingung di depan kaca yang aku sendiri sudah sepuluh menit memilah-milah baju dan pasangannya. Kalau untuk pilih pasangan baju saja lama seperti ini, bagaimana memilih pasangan hidup nanti.
"Sudah siap" seruku di depan Bian yang khusyuk ngobrol sama abang. Aku gak tahu bagaimana dia bisa dengan cepat mendekati keluargaku. Segala topik pembahasan, dilahap habis kalau sudah bertemu dan cerita sama dia.
"Mau kemana?" tanya abang.
"Rahasia"
Abang menyikut lengan Bian, mereka kompak melihatku dari atas sampai bawah yang diulangi beberapa kali. "Kenapa sih?" sindirku risih.
"Tumben cantik" celetuk abang setengah tertawa.
"Duh! Kemana aja punya adek perempuan, liatnya perempuan lain sih."
Bian berdiri merapikan lintingan kaosnya, "Sewa Cetta bentar ya, Bang" katanya.
"Ijin mah sama yang tuaan"
"Lah... Abang kan?"
-Sepotong Kisah-
"Kok diem, Ta?"
"Ya habis, kamu juga diem,"
"Kan aku fokus sama jalan,"
"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah (On going)
Non-FictionKetika intuisiku berkata aku akan menjadi milikmu, lalu ragaku bisa apa? Saat sebagian orang tak ingin kembali ke masa lalunya dengan melupakan, aku justru ingin berlama-lama menikmati harumnya kenangan. Keadaan kita yang pernah remaja, mengantarkan...