"Bulan depan Anna nikah ya, Ta"
"Iya, masih sama temen kamu itu kan?"
"Masih, langgeng ya mereka."
"Syukur deh, udah pacaran lama banget. Kan barengan sama kita dulu."
"Haha, iya, ternyata malah mereka duluan yang nikah"
"Bian.."
"Maaf, Ta."
"Jadi, kapan kamu nyusul Anna nih?"
"Belum tahu, kamu?"
"Nanti, nunggu kamu." suasana hening sebentar, "Eh itu si Rayyan, ya? Kok udah gede aja sih"Pulang ke Jogja memang sudah menjadi keputusanku. Dan kamu adalah orang pertama yang datang ke rumah saat kepulanganku. Banyak kata kenapa dan kapan yang kamu lontarkan saat itu, tapi aku hanya bisa tertunduk malu. Jangan tatap aku seperti itu, Bian. Aku seperti orang bodoh yang tak tahu harus pulang ke mana dan lebih memilih singgah di rumah orang lain untuk waktu yang cukup lama.
Dan malam itu menjadi malam terakhir aku bertemu denganmu. Melihat senyum dan tawamu. Melihat tingkah konyolmu yang sudah lebih dewasa.
Masih seperti tiga tahun yang lalu saat kamu pertama kali main ke rumah. Abang marah, katanya aku kenal sama cowok nakal yang suka ditaksir banyak perempuan. Abang tahu, kamu suka nongkrong di bengkel deket sekolahan. Tapi bukan Lucetta namanya kalo gak bisa yakinin abang dan yang lainnya kalo kamu beda. Sangat berbeda.
Kini tangisan dari hujan pun belum juga usai, sama seperti kisah kita yang belum selesai. Aku tidak mungkin menghentikan hujan saat aku tahu Sang Penciptalah yang menjadikannya. Terlebih aku yang tak mungkin mengakhiri kisah sedangkan ku tahu kaulah yang menciptakannya. Bian, apa kesempatan itu masih ada? gumam ku lirih setelah meneguk kopi susu yang hampir saja dingin karena hujan sangat deras.
Layar ponselku kini menyala, ada chat yang masuk, karena tidak ada nada. Ponsel ini sudah beberapa tahun belakangan tidak aku beri suara, biarkan saja sunyi. Toh sama dengan hati, yang sedang sunyi. Ku lihat nama Shasi di barisan atas.
"Ta, besok main ke rumah aku dong, kangen." pesan Shasi singkat. Kebetulan minggu ini tidak ada acara. Belum lihat baby-nya Shasi juga. Baiklah, aku mulai chat yang lain. Ajak Dewi sama Dimas deh, biar seru. 'Ok' balasku ke Shasi.
-Sepotong Kisah-
Jam sembilan pagi, aku siap-siap ke rumah Dewi. Kita berangkat bareng sementara Dimas langsung ketemu di sana. Lagipula rumah Dimas memang lebih dekat dengan rumah Shasi. Setelah perjalanan sekitar tiga puluh menit kami sampai. Motor Dimas belum juga terparkir di garasi. Akhirnya, kami masuk duluan.
Memang ya, aroma anak bayi itu gak ada yang bisa ngalahin, harum banget. Alona, nama anak pertama Shasi dan Mas Bram. Mereka berdua teman kerjaku saat di perantauan. Biasalah cinta lokasi gitu. Untungnya gak lama pacaran, mereka langsung nikah. Kuciumi pipi tomat yang kini merasa terganggu dengan hidungku. Tante dateng sayang, ucapku ke Alona. Sementara di luar kamar, Dewi sedang menyambut Dimas yang baru datang.
"Kok lama banget, sih?"
"Hehe.." sambil melepas masker, Dimas melanjutkan, "Tadi kesasar dua kali"
"Lah, kok bisa?" sahut mama Alona dari tempat tidur
"Lupa jalannya, Sha""Kamu ini, rumah deket aja kesasar, pantes belum nikah" tambah Mas Bram saat membawakan kami minum.
"Emangnya kenapa, Mas?" tanyaku.
"Ke sini aja nyasar, ke rumah jodoh yang belum tahu alamatnya pasti lebih nyasar, Ta" jelas Mas Bram yang diikuti tawanya. Kami pun tidak bisa menahan lagi sambungan tawa yang menyudutkan si Dimas.Mereka ini, teman-teman sekolah ku dulu, tapi baru akrab dan bisa dibilang sahabat saat bersama mencari rupiah di kampung orang. Mengenal satu sama lain dari mulai jalan-jalan bareng, makan mie instan seharian bareng, sampai sedihnya harus keluar dari kerjaan juga bareng.
Pernah waktu itu, kita semua sama-sama gak punya uang buat beli makan. Meskipun sebenarnya dari kantor dapet makanan, tiga kali sehari. Even, tahulah ya makanan dari kantor kadang ada yang rasanya kurang greget gitu.
Dengan sisa uang yang pas-pasan dan belum gajian. Kita berlima terpaksa ngumpulin uang buat beli nasi jinggo. Itu lho, nasi yang isinya hanya dua sendok nasi putih ditemani dengan lauk yang serba sedikit. Ada ayam suwir, kering tempe, dan lain-lain.
Kalau habis gajian, agak lupa diri. Suka ke Mall belanja gak lihat harga, ngepantai bareng sembari nunggu sunset. Yah, gitu deh. Norak? Ya memang, namanya juga anak baru lulus kemarin sore yang sudah langsung kerja jauh dari orang tua.
Setelah asik ngobrol kesana kemari, matahari pun turun. Aku dan yang lainnya langsung berpamitan. Gak lupa juga, foto sama Alona yang ikutan narsis. Eh tunggu, masih bayi loh ini? Ya ampun, bayi sekarang emang sadar kamera banget sih ya.
-Sepotong Kisah-
Selamat datang Senin, biasanya kamu sedikit membosankan tapi kenapa hari ini sangat cerah dan menyenangkan? Atau hanya perasaanku saja yang tidak seperti biasanya?
"Cettaaa!!" teriak Abang dari kamarnya. Aku langsung menghampiri sumber suara yang paling menyebalkan itu.
"Apaan sih? Teriak-teriak kayak apaan aja sih, Bang." gerutuku kesal.
"Ini gimana pakein bando si Lulu?"
"Lah, Kak Shita mana?"
"Shita buru-buru ke kampus tadi, minta tanda tangan dosen pembimbingnya,"
"Idih, kayak gak bisa ntaran aja sih dia mah,"
"Masalahnya, dosen pembimbingnya mau ke Jerman. Kalo gak ditandatanganin sekarang, makin lama dia lanjut bab empatnya."Aku masih memasang tampang yang masam. Bagaimana tidak, mata kanan sudah terpoles eyeliner sempurna sedangkan yang kiri masih seperti orang bangun tidur. Mata sipitku semakin layu jika tidak disentuh eyeliner, "Lulu sama tante Cetta ya, Pipi biar mandi?" Lulu hanya menggerakkan kepalanya naik turun. Poni tebal berwarna hitam hampir sepanjang mata itu bergoyang sangat imut. Lesung pipit tergambar sempurna di pipi kiri Lulu.
Oke, Lulu sudah siap. Aku langsung menyerahkannya ke Mama yang sudah menyiapkan sarapan di meja. Dan aku jangan lagi ditanya, segera melanjutkan riasan mata yang sebenarnya terlihat agak mirip zombie.
Aku memang tidak cekatan saat make up, lagi pula untuk apa make up dengan sempurna hanya untuk menyuguhkan keindahan yang lain. Prinsip utama ku dari masih SMA yaitu cantik hanya untuk suami dan menyenangkan dilihat anak-anak. Berhubung aku belum punya suami, ya biasa-biasa saja dandannya.
Di meja makan, Mama sudah menyiapkan sereal untuk Lulu dan Leo. Bukan, bukan abangnya Lulu, tapi adikku. Namanya sih, Marcello, dulu Mama panggilnya selalu Cello tapi entah kenapa setelah kelulusan SD dia pengin banget dipanggil Leo.
Aku tidak terbiasa untuk sarapan, hanya meneguk secangkir cokelat hangat. Sembari menunggu keponakanku makan sereal, aku berselancar di forum berita pagi dari ponsel. Nyatanya memang kebanyakan orang sekarang sudah tidak sempat membaca berita di surat kabar. Lebih mudah dan lebih praktis lewat ponsel, lagi pula ya memang hanya alat itu yang biasa dijamah setiap saat.
"Kak, ntar aku nebeng sampe bengkel sebelum sekolahan ya?" rayu adikku.
"Kenapa gak sekalian sampe sekolah?"
"Malu lah, gile"
"Dih bener-bener. Emang motor kamu?"
"Di bengkel,"
"Lagi?"
"Kemarin kan ganti knalpot, sekarang joknya"
"Diapain lagi sih emang?"
"Rahasia"
"Tuhkan"
"Eh kak, kemarin aku lihat kak Bian"Coklat yang ada di mulutku rasanya ingin keluar lagi. Sesuatu yang mendorong dari kerongkongan tiba-tiba membuatku tidak ingin menelannya saat ini. Walau akhirnya tetap saja aku paksakan untuk menelannya. Aku berdehem dan merapikan rambut.
"Ma, Lulu udah selesai sarapannya?"
"Udah nih, tinggal nunggu Abang kamu aja"
"Lulu berangkat sama tante ya, nanti kalo nunggu Pipi telat," aku membantunya turun dari kursi dan membawakan ransel Elsa kesayangannya, Saat ingin melangkah, badanku sedikit memutar, "Leo, kamu bareng Abang aja. Kakak mau anter Lulu.""Ta-piii Kak? Abang pasti marahin aku nih. Kak.. Kakk!"
Mama pasti menahannya untuk mengejarku. Biar saja, lagian siapa suruh pagi-pagi sudah membahas kisah yang membuatku rapuh. Tunggu? Rapuh? Konyol. Aku hanya rindu, rindu yang salah.- Sepotong Kisah-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah (On going)
Non-FictionKetika intuisiku berkata aku akan menjadi milikmu, lalu ragaku bisa apa? Saat sebagian orang tak ingin kembali ke masa lalunya dengan melupakan, aku justru ingin berlama-lama menikmati harumnya kenangan. Keadaan kita yang pernah remaja, mengantarkan...