7. Bertemu dengan Rindu

94 22 8
                                    

"Terkadang adanya jarak memang diperlukan. Kenapa? Karena ada rindu yang harus dipertemukan. Jika tidak ada jarak, maka rindu tak akan terasakan." 

- Lucetta Putri Oxyna

.

.

-Sepotong Kisah-

Jadi karena insiden aku nangis dan tertidur tanpa kode alam dari badan, nemu senderan langsung aja merem. Untung saja, bukan di bis umum. Setelah terbangun karena Clara, aku sempatkan buka pesan yang sudah mendarat dari tadi sebelum kutidur.

Mama : Sayang, sampe mana?
Abang : Dek, sampe mana?
Tian : Ttdj ya Ta
Vey : Jangan lupa pulang ya cengeng
Kinaan : Cetta, maaf gak bisa ikut nganter. Sekarang sampe mana?
Kinaan : Ta, sampe mana?
Kinaan : Ntar aku pantau terus Bian buat mu, Ta
Mama : Cetta, kok belum kasih kabar?
Sam : Be carefull
Abang : Ntar kalo sampe langsung kabarin

Dan sebenarnya masih banyak lagi pesan tapi aku malas sekali scroll ke bawah. Kalian sudah pernah melewati jalan pantura? Atau paling tidak pernahlah lewat di area jawa timur-an. Kanan kiri sudah pepohonan yang tinggi, gelap dan jarang ada lampu yang cukup terang. Ditambah supir bis lagi, tidak santai sekali jalannya, aku agak pusing dan mual untuk membaca pesan. 

Tunggu, dari semua pesan yang masuk, tidak ada pesan darinya? Benar-benar tidak ada ucapan perpisahankah? Sudah sampai disinikah? Tanyaku semakin menjadi-jadi. Baiklah, mungkin harus aku yang memulainya. Ku cari nama lelaki itu di dalam kontak. Jam di handphone hampir pukul satu pagi, "ah biar saja, siapa tahu Bian masih bangun," eyelku. Ketemu! Akhirnya tidak lama aku menunggu nada sambung.

"Halo?"
"...."
"Kok diem, Ta? Udah bangun?"
"Kok tahu?"
"Ya tahu lah, dan sekarang aku tahu kamu lagi sebel"
"Aku gak sebel"
"Trus apa namanya? Gak usah manyun-manyun gak jelas deh di bis"  What? Kok bisa tahu?
"Enggak" nadaku sedikit bergetar, ketahuan sekali jika sedang berbohong.

Dari mulai eyel-eyelan sampai omongan ngelantur akan segera pulang, nyatanya memang bisa menyembuhkan rindu beberapa jam tidak bertemu. Jangan bilang ini lebay, yang baru saja punya pacar pasti akan setuju denganku kali ini. Setelah puas mendengar suaranya saatnya melanjutkan mimpi indahku, kalau boleh jujur bukan mimpi indah tapi lebih menahan mual.

Dua puluh jam lebih aku berada di dalam bis malam yang kini sudah menyebrang ke Pelabuhan Gilimanuk. Untuk pertama kalinya, aku melihat dengan seksama jalanan di Singaraja. Rumah-rumah tradisionalnya, pepohonannya, hingga gonggongan anjing yang selalu ada setiap kilometer. Dari jendela bagian kanan, aku juga bisa melihat ombak yang sangat antusias membasahi pasir. Suara ombaknya sudah menyatu dengan kencangnya angin. Untuk pertama kalinya juga, aku mengatakan tidak menyesal mengambil keputusan ini. Pergi ke pulau ini, dan meninggalkan sesuatu yang berarti.

Kami turun di terminal Mengwi, menunggu jemputan dari kantor. Dengan barang bawaan yang sudah tidak terpikir lagi bagaimana akan membawanya. Aku, Clara, Dewi, Ninung, Anna dan Shasi bergantian ke toilet merapikan penampilan yang belum mandi dari kemarin siang. Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya jemputan kami datang. Sebenarnya letak hotel kami tidak jauh, namun harus putar balik arah.

Sepotong Kisah (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang