Kata orang setiap pertemuan pasti selalu berdampingan dengan perpisahan dan setiap ada perkenalan pasti juga tak asing dengan hal melupakan. Kalau saja sekarang aku sudah berkenalan dan ada banyak pertemuan dengan Bian. Aku berharap dan akan terus berharap kalau tidak akan ada yang namanya berpisah serta melupakan. Karena bagiku, setiap yang bertemu bukan harus berpisah. Oke, mungkin hanya sementara. Perpisahan yang sementara dan akan kembali pada pertemuan selanjutnya.
Aku percaya apa yang orang katakan tentang takdir. Aku rasa untuk sampai di titik ini-bertemu dan kenal dengan Bian adalah suatu takdir yang sudah direncanakan. Entah akhirnya nanti akan berpisah sampai kita saling melupakan ataupun tidak. Biarkan urusan yang di atas mau bagaimana. Yang jelas, aku benar-benar tidak menyesali apa yang Tuhan berikan saat ini, yaitu bertemu dan berkenalan denganmu: Bian.
Sudah satu minggu, setelah aku dan teman-teman yang lain pulang untuk saling melepas rindu dengan keluarga. Apa aku home sick? Tidak. Aku justru lebih merasakan relationship sick. Haha .. Lebay sekali kedengarannya. Tapi sungguh, aku lebih rindu dengan laki-laki yang saat ini sedang membawa koperku untuk dinaikkan ke bagasi bus.
"Beres deh!"
Bagasinya terlihat agak kotor dan sedikit berdebu. Bian mengibatkan kedua tangannya yang diakhiri dengan mengelapkan di celana bagian belakang. Celana jeans hitam yang lusuh itu, cocok dengan gaya acak-acakan milik Bian. Senyum dua jari yang diberikannya untukku saat ini, terlihat tidak terbebani seperti keberangkatan sebelumnya. Aku membalasnya dengan senyum kecil, "makasih ya udah mau aku repotin."
Dia menggelengkan kepala, seperti tidak terima. "Kan aku udah pernah bilang, gak ada yang ngerepotin, Ta. Buat kamu, apa aja, aku iyain"
Aku tersenyum. Bian tersenyum lebih lebar. Dengan santainya dia memeluk badan kecilku saat ingin masuk ke dalam bus. "Hati-hati, jaga diri, inget kalo kamu punya aku dan aku masih nunggu kamu .. di sini .." Bian mengecup dahiku untuk kedua kalinya.
"Bye" bisikku dengan kaki sedikit berjinjit, "aku pasti pulang.."
Jarak antara Jogja sampai Denpasar masih sama saja. Waktu yang ditempuh juga masih tetap sama. Berjuang kembali dengan teman-teman yang sama, meski sudah berkurang. Semua tetap sama. Hanya saja, hati yang sudah lebih baik dari awalnya. Hati yang sebelumnya sering gusar ingin tahu bagaimana kabarnya. Hati yang selalu ingin berada di dekatnya. Aku rasa ini bukan hal yang berlebihan. Dan sekarang aku sadar bahwa apa yang membuat kita bahagia harus diperjuangkan.
Sudah lima hari berlalu. Aku juga sudah sibuk dengan rutinitas kerja harianku. Masih dengan suasana yang sebelumnya, bekerja untuk mendapat banyak pengalaman dan ilmu baru. Mas Totok pernah bilang, kalau lagi kerja lupakan semua yang mengganggu jiwa. Semua itu bisa merusak kinerja dan nantinya tidak produktif seperti biasanya.
Tapi .. baru saja diberi wejangan, aku sudah membuat kesalahan lagi. Kaver buku bacaan anak-anak yang harusnya dicetak 200 lembar, malah kuatur 2000 lembar. Karena curiga lama selesainya, Mas Totok mengecek dan benar saja. Cetakannya sudah melebihi 100 lembar. Aku cuma bisa tertunduk dan merasa bersalah, "maaf mas, kelebihan pencet angka 0"
Mas Totok segera meng-handle agar tidak terlalu banyak kelebihannya. Setelah tiga menit mencoba, akhirnya berhenti juga. Mas Totok gak marah, jarang sekali Mas Totok marah setiap aku buat kesalahan. Dia selalu mengulangi kalimatnya, "lain kali lebih hati-hati dan teliti ya, Nok." Iya.. Mas Totok itu orang Semarang, karena sama-sama dari tanah Jawa, aku sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Tapi tetap saja masih sering jahil.
Aku pernah dikenalkan dengan salah satu teknisi dari Jakarta yang sedang bertugas di Denpasar. Orangnya tinggi, agak kurus dan kulitnya hitam manis. Sama seperti Bian, Mas teknisi ini juga punya gigi gingsul yang malu-malu menunjukkan kehadirannya saat dia ketawa. Namanya Mas Dio, orang Jogja tulen.
"Gini nih, suka ngelamun mikirin Dio terus sih" ledek Mas Totok setelah membantuku merapikan cetakan kaver buku.
Aku cengengesan tanpa dosa, "enggak, bukan dia kok. Hahaa"
Mas Totok geleng-geleng lalu diikuti memukul kecil jidatnya. "Susah nih!" katanya dengan wajah agak serius. "Punya adik satu aja, cowoknya banyak banget.."
"E-nggak kok Mas, Enggak. Satu aja deh, cukup"
"Masih muda gapapa kok kenalan banyak, nanti kalo udah nikah baru satu aja" tambahnya dengan omongan makin ngelantur. ku susul dengan mendekatkan kedua alis, "maksudnya?"
-SepotongKisah-
Drtt.. Drrt..
HP yang sedari pulang kerja tadi belum ku sentuh bergetar di meja tivi. Ada sms yang sudah bisa ditebak siapa pengirimnya.
'Sore.. Ta, lagi apa? Sudah pulang kerja? Aku berangkat futsal dulu ya. Jangan nelat mandi. Nanti aku telfon. '
Smsnya gak aku balas, langsung pergi mandi dengan langkah yang gontai.
Akhir pekan ini, jalan tol yang menghubungkan Denpasar sampai ke Nusa dua sudah selesai. Katanya sih, bisa coba gratis dengan biaya 0 rupiah. Alih-alih gak mau tertinggal yang masih hot news, aku pengin banget nyobain jalan tolnya. Oh iya, kerennya lagi, jalan tol ini ada rute khusus untuk pengendara motor. Dan kalian pasti sudah tahu kan, kalau jalan tolnya ada di tengah-tengah laut? Kalau di lihat dari tivi sih bagus banget, makanya itu aku mau lihat langsung.
'JJM'
Status yang aku pasang di akun BBM setelah mandi. Tidak ada angin tidak ada hujan, ada banyak teman yang ikut merespon statusku. Mulai dari Mas Mul, Clara, Mas Totok, Kinaan, dan yang kebetulan sekali: Mas Alfa. Di saat yang lain sibuk mengejekku karna LDR dengan Bian. Mas Alfa beda. Komentarnya tentang statusku malah berbunyi, "ayook!"
Hhh.. Seperti sedang kejatuhan buah durian dari atas pohon apel. Tidak mungkin, kan? Aku juga sudah mengira ini tidak mungkin dan hanya lelucon saja. Aku membalasnya dengan tidak percaya diri, "ayok? Kemana?"
Aku sudah deg-degan menunggu balasan chat dari Mas Alfa. Satu menit masih belum ada balasan juga. Ah! Benarkan, ini semua cuma leluconnya. Apalagi Mas Alfa pernah dekat dengan Clara, pasti tipe cewek yang disuka juga seperti Clara. Tunggu .. Apa peduliku? Kalau dia hanya bercanda juga gak masalah kan? Kenapa harus kecewa?
Dan lima menit kemudian, ada panggilan masuk. Dengan cepat kuangkat tanpa melihat siapa pemanggilnya. Karna pasti itu Bian. "Haloo.." kataku dengan percaya diri.
Terdengar hembusan nafas dari seberang telepon diikuti dengan kalimat. "Hei, jadi gak? Ayok!?"
"Ayook kemana? Kamu salah telpon orang ya?"
"Ini Lucetta kan?"
Aku mulai mencium kecurigaan. Detik itu juga ku sadari nama yang ada di layar bukan nama Bian tapi Mas Alfa. "E-eh, iya, Mas.." ucapku dengan sedikit deg-degan kencang. Aku juga gak tahu kenapa bisa sekencang itu.
"Jadi gak?" katanya mengulangi pertanyaan.
"Emang mau kemana?" aku menjawabnya dengan balik bertanya.
"Haduuh anak ini. Sanur aja mau?" tawaran yang tanpa berpikiri pun pasti akan ku jawab mau. "Em.. Gimana ya Mas" aku pura-pura berpikir.
"Kalo mau, bentar lagi aku jemput" tambahnya.
Aku merasa ada dorongan untuk mengatakan, "Boleh.."
-SepotongKisah-
Finally, setelah menembus ke-MAGER-an untuk melanjutkan cerita ini publish juga
Maaf ya? Hehee..
Karna aku juga sedang merevisi bagian awalnya. (:
Gimana nih? Setelah tidur panjang, agak kaku gak sih rasanya tulisanku?
Dan ada beberapa sosok yang hadir di dalam kehidupan Lucetta. Stay tune yaa. Janji akan ku selesaikan tahun ini kok ceritanya.
Sampai jumpa di part selanjutnya ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepotong Kisah (On going)
Non-FictionKetika intuisiku berkata aku akan menjadi milikmu, lalu ragaku bisa apa? Saat sebagian orang tak ingin kembali ke masa lalunya dengan melupakan, aku justru ingin berlama-lama menikmati harumnya kenangan. Keadaan kita yang pernah remaja, mengantarkan...