4. Kunang-Kunang

73 29 12
                                    

Hari ketiga pengangguran, bisa bangun siang dan gak buru-buru mandi adalah hal yang menyenangkan. Akhirnya, aku lepas dari status pelajar.

Di luar hujan, sangat cocok memang untuk melanjutkan mimpiku. Tapi saat kubuka jendela kamar, ada motor yang terparkir di teras. Tunggu, itu kan motor Bian? Ngapain pagi-pagi ke rumah? Aku mengikat rambut sampai tinggi, mencuci muka dan sikat gigi saja. Menemui tamu yang sama sekali tidak aku undang kedatangannya.

"Udah dari tadi?"
"Iya,"
"Kok gak bilang kalo mau ke sini?"
"Biar apa?"
"Ya biar aku--" belum selesai dengan kalimatku, dia sudah menyambarnya
"Biar kamu bisa mandi trus dandan dulu?"
"Hehee" celingukan dan disusul dengan menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal mungkin mampu membuatku lebih rileks.

Mama menghampiri kami di teras. Wajahnya sumringah. "Mas, sarapan dulu yuk. Tante udah masak nih"
"Iya tante, makasih. Tadi Bunda juga udah masak di rumah, masih kenyang Tante."
"Bohong. Yuk sarapan bareng-bareng" kali ini, aku yang menarik tangannya untuk masuk ke dalam rumah.

Di meja makan yang berisikan enam orang itu akhirnya penuh. Biasanya abang sudah ngelayap ke rumah pacarnya kalau libur kuliah. Adikku sudah dapat dipastikan bermain di lapangan komplek. Laki-laki yang tidak betah di rumah ya seperti itu, pergi sesukanya. Kalau lapar baru pulang.

"Kamu berapa bersaudara, Mas?" tanya Mama membuka percakapan kami.
"Tiga tante. Adik saya masih kecil-kecil."
"Jadi anak mbarep (anak pertama: bahasa Jawa)?" sambung uti.
"Iya uti"
"Nama adikmu siapa?" Aku mendadak kepo.
"Rangga sama Ringgo"
"Kok namamu beda sendiri?"
"Hus!" tante menghentikan pertanyaanku yang terlihat seperti introgasi.

-Sepotong Kisah-

Memang benar, kamu tidak pernah menjanjikan apa-apa untukku. Tidak berusaha akan menjadi Jack untuk Rose seperti film Titanic, juga tidak akan menjadi Habibie untuk Ainun seperti kenyataannya. Kamu adalah kamu: Bian. Sejuta kekurangan yang harus ku lengkapi satu per satu.

Bahkan sampai saat ini saja, aku belum tahu mengapa Tuhan menyatukan kita. Saat kita benar-benar sedang tidak mencari, tetapi langsung dipertemukan. Tunggu dulu, apa iya tidak ada momen yang lebih romantis lagi dari berkenalan di Facebook? Lebay sekali.

Sudah beberapa tahun sebelum angkatanku lulus, diadakan wisuda. Persiapan gladi resik kedua akan dilakukan di gedung Akademi Kepolisian. Aku berangkat sama Kinaan, di satu sisi kangen dia, sisi yang lainnya gak mau ngerepotin makhluk Tuhan paling baik itu. Setelah kemarin Mama diantar ke butik temannya yang baru peresmian cabang baru. Laki-laki mana yang mau mengantar coba, sedangkan bertemu anaknya saja ibarat kata baru kemarin sore. Eh sudah dekat dengan Mamanya, ini modus, sudah pasti modus.

Drrt.. Drrtt..
Ponselku bergetar pelan. Kubiarkan beberapa waktu, karna acaranya sebentar lagi selesai. Tepat di depan gedung, Kinaan menghentikan langkahnya dan menyikutku. Aku tetap berjalan pelan sembari mencari ponsel di dalam mini slingbagku.

Bugg!! "Auchh" poniku berhasil menutupi seluruh mata dan menabrak seseorang bertubuh cukup berisi. Ngapain juga orang ini berdiri di tengah jalan?

"Eh jangan berdiri di tengah jalan dong!" pekikku.
"Aku?" tanyanya yang belum ku jawab, seraya merapikan poniku dan,
"Loh? Kok di sini?"
"Kan tadi aku udah bilang sama kamu,"
"Kapan?"
"Barusan"

"Cetta pulang sama aku ya, Na?" menarik tanganku dan menunggu ijin dari Kinaan. Dengan berat hati Kinaan membolehkannya. Rencananya aku dengan Kinaan akan ke toko jam. Membelikan kado untuk pacar Kinaan yang lusa ulang tahun.
"Maaf ya" hanya mampu mengucapkan itu dan melambaikan tangan ke Kinaan.

Motornya mungkin kini sudah akrab denganku, atau mungkin bosan karna aku selalu ada di jok belakang? Atau malah sepertinya tidak, jok penumpang ini pasti sering menerima perempuan yang lebih cantik dari aku. Sial, percaya diriku sangat buruk sekali.

"Kita kemana?"
"Pulang, Ta"
"Baguslah,"
"Nanti malam, jam tujuh aku jemput harus sudah mandi."
"Mau kemana?"

Baiklah, dia tidak menjawab pertanyaan terakhirku. Hanya fokus dan tanpa suara di sepanjang jalanan. Tak lama setelah sampai, di teras, aku menyuruhnya beristirahat sebentar untuk sekadar melepas lelah. Aku buka chat yang sedari tadi berbunyi. Ada satu pesan yang harusnya aku baca di awal tadi.

Febrian : Aku tunggu kamu di depan gedung ya.

"Yah, sayangnya aku baru aja buka pesan kamu." gerutuku lirih. "Kenapa?" sembari merapikan rambut ikal yang makin tak beraturan rupanya dia sempat mendengar. "Gak papa". Tahu sendiri kan, cewek kalau bilang gak papa itu pasti kenapa-kenapa. Betul apa betul banget?

Pluk pluk pluk..
Suara pesannya lucu, seperti air yang jatuh ke kubangan air lainnya. Sesegera mungkin dia membaca pesan. Bukan dari pacarmu kok, cuma dari aku. Batin ini ingin sekali terdengar olehnya.

Cetta : Aku udah di depan, di depan kamu.

"Apaan sih" serunya diikuti senyum simpul itu lagi.
"Biar pesannya gak bertepuk sebelah tangan" bukannya jengkel, dia justru mengelus pelan rambutku, "Aku pulang ya"

-Sepotong Kisah-

Malam harinya, aku duduk di kursi teras, melihat layar ponsel yang belum ada kabar. Waktu di jam tanganku sudah menunjukkan jam tujuh lebih lima belas menit. Gak biasanya dia molor. "Mau kemana, Dek?" tanya abang menyuruhku duduk agak ke pinggir. "Gak tau, kata Bian mau keluar tapi sampai jam segini belum dateng," Aku menoleh kanan kiri depan gang, siapa tahu dia menungguku di gang Tapi bukan Bian namanya kalau ajak aku pergi tapi gak pamit sama orang rumah.

"Abang mau ke kak Shita?"
"Enggak"
"Lah, abang selingkuh?"
"Kagaak bocah..."
"Trus?"
"Ke rumah calon istri Abang."
"Idih, jijik!"

Satu, tiga, lima dan sepuluh menit menunggunya lagi, akhirnya dia datang dengan muka yang di penuhi kata maaf.

"Cetta nunggu sampe ubanan tuh" Abang membelaku yang sejujurnya sudah lumutan gak pengin ke luar malam itu.
"Sorry, tadi mampir dulu" standart tengah itu kini dinaikkannya, "Gak marah kan?"
"Marah lah, kamu lama banget"
"Abang jalan duluan deh keburu yang di sana ngambek juga"

Ku ralat, tidak jadi bete. Mana bisa bete dengannya. "Kita mau ke mana, sih?" Hampir sekitar tiga puluh menit lebih akhirnya kami sampai di tempat makan.

"Ini deket bandara ya?" tanyaku
"Iya," "Turun, Ta"
"Kenapa harus ke sini sih makannya?"
"Karna aku pengen"

Aku pesan nasi goreng spesial dan dia pesan beberapa seafood. Nasi goreng itu makanan yang paling aman menurutku jika datang ke tempat makan yang baru. Enak enggak enaknya, tergantung nasi goreng. Tapi beda dengan Bian, apa saja sih dia doyan. Asal di tempat makan itu ada kecap. Aneh sih memang, tapi Bian suka. Pernah sewaktu makan bakso di Doa Ibu langganannya, dia minta tambah bakso tanpa kuah dan digadoin barengan sama kecap aja. Duh, untung kamu cakep. Cakep mah bebas.

Pulang dari makan, motornya menyingkir ke sisi kiri. Pas banget ditanjakan, jalanannya cukup gelap, hanya ada lampu kuning yang menyoroti jalan utama. Meskipun begitu, tempat ini ramai. Banyak orang menikmati lampu-lampu.

Dengan badan yang separuh menunduk lalu ia merapikan rambutku.
"Lampu dari perumahan di bawah sana bagus ya, Ta."
"Iya, kayak lihat kunang-kunang."
"Kamu tahu gak kenapa kunang-kunang bercahaya?"
"Enggak"
"Mau tahu gak, Ta?"
"Enggak juga" ku angkat sedikit wajahku untuk bisa menatap wajahnya. Tuhan, hidung itu terlalu indah untuk kulihat malam ini. Aku melanjutkan kalimatku lagi, "Yang mau aku tanyain, kenapa kita berhenti di sini, sih?"

"Aku mau lihat jelmaan kunang-kunang dari lampu-lampu itu dan kunang-kunang asli dalam hidupku"
"Maksudnya?"
"Mau jadi pencerahanku terus gak, Ta? Sampe nanti?" lanjutnya dan aku masih terdiam seribu bahasa. Melihat lampu-lampu yang berasal dari perumahan di bawah sana. Bian memegang tanganku, berharap aku segera menjawabnya.

"Kenapa harus pencerahan?"
"Kalo gak ada pencerahan, hidupnya gak berwarna dong."
"Berarti sekarang hidup kamu berwarna?"
"Sangat"

-Sepotong Kisah-

Sepotong Kisah (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang