Pertanyaan 7
Apa itu keluarga?*
Tita melangkah ragu memasuki rumah kos barunya. Ia berjalan dengan canggung menuju segerombolan cewek yang sedang tersenyum lebar menatapnya.tita memandang berkeliling, tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
“1.. 2.. 3.. Selamat datang di rumah kos Mentari!”
Tita berjengit kaget ketika terjadi letusan kecil di belakangnya, menyusul kemudian taburan confetti yang berhamburan di atasnya. Melayang, mengotori seisi ruangan itu. 8 orang cewek bertepuk tangan, dua dari mereka bahkan merangkul Tita dengan akrab.
“Selamat beragabung di kos Mentari,” Sahut seorang cewek berambut keriting. “Selamat menjadi bagian dari dunia kami.”
Seorang cewek mengenakan bando ungu menyeruak di depan Tita, memandangnya dengan mata penuh antusias. “Kamu jurusan apa? Semester berapa? Sebelumnya tinggal di mana?”
“Rinai!” Bentak seorang cewek lainnya, “kan, Mbak Diah udah bilang.”
Cewek berbando tadi memasang wajah cemberut, menatap pada cewek yang membentaknya tadi. “Kan, aku pengen denger sendiri dari dia. Ish..”
“Udah, abaikan aja mereka berdua.” Diah muncul dari sebuah ruangan, baru saja meletakkan barang-barang Tita. “Kenalin, teman-teman sekaligus keluarga kamu di kos ini.” Tunjuk Diah pada seluruh cewek di ruangan itu.
“Aku Nurul,” Tita menoleh ke samping kiri, pada cewek yang merangkul bahunya, “Anak Psikologi, semester 4. Dia,” tunjuk Nurul pada cewek berbando ungu, “Rinai, Manajemen, semester 6. Di sampingnya Aini, Teknik Informatika, semester 4.”
Tita melongo, melihat postur Rinai yang kecil dan kelakuannya yang seolah kekanak-kanakan, membuatnya terlihat seperti anak SMA. Namun ternyata dua tingkat di atasnya.
“Yang pakai kaos putih itu Mia, di sampingnya Eva sama Novi. Seangkatanmu, anak Komunikasi.” Mereka bertiga melambaikan tangan sambil tersenyum lebar pada Tita. Tita hanya mengangguk dan tersenyum sekilas sebagai balasan. Ia tidak tahu harus melakukan apa, semuanya terlalu mendadak.
“Aku Zahwa,” Tita menoleh ke samping kanannya, seorang cewek mengenakan long dress tersenyum lembut padanya. “Fakultas Keislaman, semester 6.”
“Yup,” Diah bertepuk tangan sekali, mengembalikan seluruh atensi teman-temannya pada dirinya. “Mungkin awalnya agak canggung, tapi lama kelamaan kamu juga akan terbiasa. Ingat, apa motto Kos Kita?”
Mereka semua serentak berteriak, “Mentari, satu keluarga, berbagi suka dan duka. Yeaaay…..” mereka semua tertawa bersama, lalu saling berangkulan satu sama lain.
Tita tertegun, menatap pada orang-orang yang baru saja dikenalnya. Keluarga? Semudah itukah ia menjadi bagian dari mereka?
“Oh ya, teman sekamarmu belum datang.” kata Diah, “untuk sementara kamu tidur sendirian dulu, nggak apa-apa?”
Tita menggeleng, ia sudah terbiasa sendiri.
“Emangnya Kia kemana, Mbak?” Tanya Rinai. Ia baru saja kembali dari dapur, di tangannya sudah ada sebuah dua buah es batu.
“Ada kegiatan sama UKM-nya. Kayaknya baru pulang ntar malam.” Sahut Aini.
“Ta!” Tita menoleh, Nurul tampak memegang beberapa piring, di sampingnya Mia membawa sebuah termos besar. “Abis ini kita mau ngerayain kepindahan kamu di sini, tapi cuma pakai Indomie sama sirup ABC, nggak apa-apa kan, ya?”
Tita kembali menggeleng, ia bahkan tidak tahu kalau teman-teman di kos-nya mengadakan sambutan seperti ini.
“Lagian, kamu pindahnya nanggung sih Ta.” Gerutu Zahwa, ia membawa beberapa sendok di tangannya. “Pas banget di akhir bulan, pas kita-kita belum dapat jatah kiriman.”
Diah berdecak, ia menggiring semua orang untuk duduk melingkar di atas karpet. Nurul kembali masuk ke dapur, lalu datang bersama senampan besar Indomie goreng.
“Ta,” Rinai melihatnya dengan saksama, seolah sedang mencoba menemukan sesuatu. “Kamu seneng nggak?”
Mata Tita berkedip cepat, ia tidak tahu harus menjawab apa akan pertanyaan spontan itu. Apakah ia senang?
Diah kembali berdecak melihat kelakuan Rinai. Aini mengambil sebuah sendok di tangan Zahwa dan menggetok kepala Rinai dengan sendok tersebut.
“Aduh!” Rinai tampak melindungi kepalanya dari serbuan sendok Aini ditambah cubitan Mia. “Kan, aku cuma tanya.” Elaknya. “Lagian, Tita daritadi nggak kelihatan happy gitu. Siapa tahu dia terganggu sama tingkah aneh kita semua.”
“Yang tingkahnya aneh di sini, ya cuma kamu doang.” Celetuk Aini, ia menuangkan es sirup ke dalam beberapa gelas. “Kita semua normal, kok.”
“Enak aja,” seru Rinai tak terima. Mereka berdua kemudian terlibat adu mulut. Namun, tak ada seorang pun yang merasa terganggu pada keributan kecil itu. Mereka justru sibuk menyuruh Tita untuk meminum es sirupnya.
“Ta!” Rinai kembali melihatnya, bando ungunya sudah lecek. Rambutnya tampak terurai masai, tapi ia tidak begitu peduli. “Kamu tipe orang higienis, nggak?”
Tita terdiam sejenak, kemudian menggeleng.
Rinai mengangguk puas. “Keberatan nggak, kalau kita semua makan Indomie-nya langsung dari nampannya? Tapi pakai tangan, nggak usah sendok sama piring.”
Tita melongo, ia kemudian tertawa singkat dan mengangguk. Mereka semua rupanya begitu memerhatikan perasaan dan kenyamanannya di kos ini, hingga begitu hati-hati dalam bersikap.
Mereka kemudian makan langsung dari nampannya bersama-sama dan tidak ada seorang pun yang merasa jijik akan hal itu.
Apakah ia senang?
Tita belum tahu, tetapi saat ini hatinya merasa hangat.
*
Raka merebahkan kepalanya di atas kasur, ia menarik napas dan menghembuskannya dengan pelahan. Dalam hatinya, sedikit kekhawatiran tiba-tiba saja muncul.
Drrtt… drrtt…
Raka mengambil ponselnya, menatap pada nama yang akhir-akhir sering sekali menghubunginya. Ia menggeser tombol hijau.
“Gimana?” suara di seberang tampak gusar.
Raka berdecak, “Gue laper, belum makan nih. Dan elu sama sekali nggak nanya keadaan gue. Jahat banget sih, lo.”
Suara di seberang berdecak. Raka tertawa mendengarnya, membayangkan cowok itu dengan muka merengut dan bertekuk. “Gue serius, nih. Dia—“ berhenti, Raka menduga cowok itu ragu-ragu. “Dia nggak biasa sama suasana kaya gitu.”
Raka mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia menghela napas, mencoba mereka ulang segala kemungkinan terburuk dari keputusannya. Ia yakin, ini yang terbaik.
“Lo tenang aja, dia aman, kok. Gue kenal sama mereka semua.”
Suara di seberang menghela napas, “Gue harap, dia baik-baik aja.”
“Lo bisa percaya sama gue.” Kata Raka meyakinkan. Ia juga sama khawatirnya dengan cowok di seberang.
“Kalau terjadi sesuatu, kasih tahu gue, ya.”
Telepon ditutup. Raka memandangi ponselnya lama, ia tersenyum. Dalam hati berdoa, semoga rencana susah payah yang ia buat bersama orang yang meneleponnya tadi berjalan lancar.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Hujan
Teen FictionSesekali, egois itu perlu, kan? Karena kita butuh memperjuangkan apa pun keinginan kita, meskipun itu juga diinginkan orang lain. Ratita