Pertanyaan 9
Sejak kapan aku seperti ini?*
Raka mengusap wajahnya gusar, ia menatap pada rumah kos di depannya yang tampak lengang, tak ada kesibukan berarti. Ia kemudian berbalik, menuju motornya. Tanpa ada sepatah kata pun, ia menjalankan motornya, meninggalkan tempat itu diikuti oleh temannya.
Mereka berhenti di sebuah kafe, memilih untuk duduk berhadapan di tempat pojok.
"Lo lihat sendiri, kan?" Tanya Raka, menatap pada cowok di depannya. "Kemaren, dia masih baik-baik aja, kok."
Cowok di depannya menghembuskan napasnya dengan kasar. Berpikir segala kemungkinan yang terjadi.
"Ekspresinya tadi benar-benar bikin gue takut," gumam Raka, ia masih mengingat jelas ekspresi dan tatapan mata Tita. "Dia udah kayak hidup, ya cuma hidup aja. Nggak ada tujuan, nggak ada keinginan. Semuanya hampa, kosong."
Cowok di hadapan Raka mengusap wajahnya gusar, ia memejamkan matanya.
"Gue sebenarnya nggak mau ikut campur, tapi gue cuma pengen tahu aja, apa yang udah terjadi sama kehidupannya dia?" Tanya Raka, menatap cowok di hadapannya dengan sorot tajam.
"Gue juga nggak banyak tahu. Lo tahu, kan, kalau kami nggak pernah ketemu." Sahut cowok di depannya, ia menatap mata Raka. "Selama ini, gue cuma tahu namanya doang, baru tahu orangnya pas ketemu di kampus ini."
Raka mendengus, sedikit banyak ia paham betapa rumitnya hubungan cowok di depannya ini dengan Tita.
"Lo nggak bisa nyari tahu?" Tanya Raka.
Cowok di depannya, yang juga adalah sahabat karibnya sejak kecil itu menggeleng, "Mau nanya ke siapa?"
"Pembantu Rektor 3, elu punya koneksi ke situ, kan?" Sindir Raka, ia bersedekap, menikmati ekspresi frustasi yang ditunjukkan oleh sahabatnya itu.
Sahabatnya mendengus, "Gue nggak mau Tita dalam masalah."
Raka menggeleng-gelengkan kepalanya, "kenapa, sih, lo nggak ngaku aja. Muncul di depan dia, ngomong semuanya. At least, dia tahu kalau masih ada orang yang peduli sama dia. Biar dia nggak ngerasa sendirian lagi. Punya tempat bersandar, yaitu elu."
Sahabatnya menggeleng. "Hubungan kami rumit, Ka. Lo udah tahu semuanya, kan?"
Raka menghela napasnya, ia menengadah, menatap langit-langit kafe yang didesain dengan sangat memukau. Membuat siapapun yang melihatnya akan merasa tenang. Sayangnya, ketenangan desain interior kafe itu tidak merayap pada dua cowok yang duduk di dalamnya.
"Gue cuma bisa begini," ujar cowok di depan Raka. "Mencoba melindungi dia diam-diam, dari jauh."
"Jadi, gue bakalan terus jadi perantara, nih?" Tanya Raka. Ia sebenarnya tidak keberatan sama sekali. Hanya saja, sahabatnya ini juga perlu menunjukkan atensinya. Jika tidak ingin terus-menerus dianggap orang asing oleh Tita.
"Lo, keberatan?" Tanyanya tajam.
Raka menggeleng. "Tapi nggak selamanya lo bergantung sama gue. Ada beberapa hal yang cuma lo sama Tita aja yang tahu, juga cuma kalian berdua aja yang bisa nyelesain masalah ini. Face to face, tanpa gue yang notabene-nya cuma orang asing."
Wajah cowok di depannya frustasi, ia mengusap wajahnya kasar, terlihat sekali kalau ia sebenarnya juga lelah.
"Gue pengen tahu keadaannya sekarang." Cowok itu menatap Raka, menyiratkan permintaan tolong.
Raka mengangguk, ia juga ingin tahu keadaan cewek itu. Mengeluarkan ponselnya, Raka menekan sebuah nomor yang akhir-akhir sering dihubunginya.
"Ada apa?" tanya suara di seberang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Hujan
Teen FictionSesekali, egois itu perlu, kan? Karena kita butuh memperjuangkan apa pun keinginan kita, meskipun itu juga diinginkan orang lain. Ratita