Pertanyaan 10
Kamu yakin, peduli padaku?*
Tita berusaha mati-matian menahan kantuk, beberapa kali ia menundukkan kepala dan meletakkan tangannya di depan wajah, sebisa mungkin menutupi mulutnya yang menguap. Di depan kelas, Prof. Prima sedang menjelaskan tentang tugas yang harus dikerjakan saat ujian tengah semester nanti.
Drrtt.. drrtt..
Tita mengambil ponselnya, sebuah nomor baru melakukan panggilan padanya. Ia menggeser tombol merah, tidak mau mengambil risiko di kelas dengan dosen killer di depannya.
Saat Prof. Prima keluar kelas, serentak seluruh mahasiswa yang menghadiri perkuliahan itu menarik napas lega. 2 SKS (Sistem Kredit Semester) saja rasanya sudah seabad jika yang mengajar adalah dosen killer, pelit nilai dan susah dilobi ketika ada tugas. Makanya, hampir tak ada satupun mahasiswa yang mencoba-coba membuat gaduh atau bermain ponsel di kelasnya, apalagi sampai bolos dan titip absen.
Drrtt.. drrtt..
Tita kembali mengambil ponselnya, nomor asing itu kembali muncul di layar.
“Halo?”
“Ta, ini Papa.”
*
Pria paruh baya itu masih segar bugar, meskipun usianya sudah melewati setengah abad. Tita pikir, setelah sekian lama tidak bertemu, ia akan mendapati laki-laki di depannya ini dalam keadaan sakit, kurus atau—apapun itu, sesuatu yang akan membuatnya tampak kehilangan dan menyesal—seperti dirinya.
Nyatanya, ia keliru. Lelaki di hadapannya baik-baik saja, sama baiknya dengan pertemuan terakhir mereka dua tahun lalu.
“Papa kebetulan ada urusan di sini, sekalian mampir.”
Tita mengangguk, ia memilih untuk menatap pada jus jeruk yang dipesannya tadi daripada bersitatap dengan laki-laki ini.
“Kamu ambil jurusan apa?” Tanya laki-laki itu yang entah mengapa dalam telinga Tita justru terdengar basabasi saja.
“Biologi.”
Laki-laki itu mengangguk, ia mengambil cangkir kopi di depannya lalu meneguknya. Tita tahu, laki-laki itu gugup, tidak tahu harus berbuat apa.
“Papa coba hubungi kamu, tapi nggak nyambung. Ternyata kamu ganti nomor, ya?”
Tita kembali mengangguk, tidak sepenuhnya berbohong. Ia sebenarnya tidak mengganti nomornya, hanya memblokir nomor laki-laki di depannya. Lalu membeli ponsel dual sim dan benar-benar mengganti nomornya saat sudah mulai kuliah di kampus ini. Ia tidak berbohong, laki-laki di depannyalah yang salah dalam menarik kesimpulan.
Lagi pula, jika ia memang benar-benar berniat ingin terhubung dengan dirinya, laki-laki itu tidak perlu menunggu dua tahun untuk melakukan itu. Ia punya koneksi dan kuasa yang akan membuatnya mendapatkan apapun dalam sekejap—termasuk juga dalam melenyapkan.
Tita mendengar suara napas yang ditarik, suara napas laki-laki itu. Sepertinya, bertemu dengan dirinya membuat laki-laki itu kekurangan oksigen. Tita bahkan sempat melihatnya melonggarkan dasi untuk memudahkan proses pernapasannya.
“Uang bulanan kamu, gimana?”
Tita menghedikkan bahunya, “masih cukup. Tabungan mama masih banyak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Hujan
Teen FictionSesekali, egois itu perlu, kan? Karena kita butuh memperjuangkan apa pun keinginan kita, meskipun itu juga diinginkan orang lain. Ratita