Pertanyaan 13
Di manakah tempatku bermuara?*
Tita memandangi layar ponselnya dengan kening berkerut. Sungguh, dia sebenarnya ingin memaki seseorang, namun keinginan itu ditahannya. Ia tak mau menimbulkan beragam spekulasi dari teman-teman kosnya.
Ini adalah hari Jum’at. Beberapa penghuni kos memilih pulang ke rumah untuk menghabiskan weekend bersama keluarganya. Apalagi, hari Senin depan juga merupakan tanggal merah. Jackpot bagi mahasiswa perantauan untuk menambah jatah liburnya.
Tita sebenarnya juga ingin pulang. Jarak antara kampus dan rumahnya hanya dipisahkan dengan selat Madura. Perjalanan hanya berkisar antara 2-3 jam saja. Namun, ia memilih untuk tetap tinggal.
Sebenarnya, ia hanya tidak tahu harus menuju ke mana. Ibunya memiliki beberapa saudara di Madura. Salah satunya bahkan menempati rumah yang dibangun papa untuk mamanya. Berdalih untuk membantu merawat rumahnya semenjak mamanya meninggal dan Tita memutuskan kuliah di luar pulau. Kini, justru Tita merasa bukanlah pemilik rumah itu.
“Ngapai, Ta?”
Tita menoleh, terlihat Diah melongokkan kepalanya dari tangga.
“Ngadem aja mbak,” sahutnya. “Mbak Diah mau ngapain?”
Diah mengangkat bukunya. “Nyari udara segar. Pusing baca buku terus.”
Tita tersenyum. Diah sudah memasuki masa-masa mendekati semester kritis. Wajar saja jika kerjaannya setiap hari adalah membaca buku, duduk di perpustakaan bahkan mengunjungi ruang referensi. Tak ada lagi waktu untuk bersantai.
“Kamu nggak pulang?”
Tita menggeleng. “Lagi males mbak.”
“Madura dekat kan dari sini?”
Tita mengangguk.
“Kapan-kapan boleh ajak kita semua main ke sana?”
Tita berdiam, tidak tahu harus menanggapi apa.
“Aku belum pernah ke Madura,” gumam Diah.
“Aku nggak tahu harus ke mana kalau lagi di Madura, mbak.” Tita menjelaskan, matanya menatap kelamnya langit malam. “Rasanya kayak nggak ada tempat tujuan.”
“Orangtuamu?”
Tita kembali menggeleng, “Mama udah meninggal. Dia emang punya beberapa saudara, tapi ya sungkan aja kalau pulangnya ke mereka.”
Diah menganggukkan kepalanya. Mereka kembali berdiam diri.
“Oh ya, mulai minggu depan kamu udah mentoring, ya?”
Tita mengangguk, diam-diam menarik napas lega akan perubahan topik ini. Jujur saja, ia benci harus menceritakan kehidupannya pada orang lain.
“Kamu udah tahu satu kelompok sama siapa?” tanya Diah. “Info resminya tadi udah keluar di website mentoring kampus.”
Tita menggeleng. “Belum sempat ngecek mbak. Biasanya sistemnya kayak gimana?”
“Semacam kegiatan berkelompok yang membahas tentang keagamaan. Nanti, tiap-tiap pertemuan akan ada temanya masing-masing. Oh ya, tiap kelompok nanti akan dipandu oleh satu mentor. Dia akan membantu kalian untuk menyelesaikan berbagai tugas yang sudah ditetapkan oleh panitia mentoring.” Jelas Diah, ia menoleh ke arah Tita. “Kalau mau info lebih jelas, kamu bisa tanya aja ke Kia. Dia bagian dari pengurus mentoring.”
“Mbak Diah bukannya pengurus juga?”
Diah tertawa, “Udah demisioner Ta. Udah semester tua gini, kok,” sahutnya. “Tapi, mbak masih bantu jadi mentor untuk semester ini. Kayaknya bakalan benar-benar berhenti mulai semester depan.”
Diah melihat waktu di ponselnya, sudah menunjukkan pukul 22.34. “Nggak mau turun, Ta?” tanyanya sambil mulai berdiri.
“Bentar lagi mbak. Masih nyaman di sini.”
“Oke. Aku duluan, ya”
Sepeninggalnya Diah, Tita memutuskan untuk membuka website resmi mentoring. Mengecek daftar nama kelompok peserta mentoring di hari Rabu. Ia menemukan namanya berada di kelompok 2 dengan nama kelompok Ar-Rasyid.
Ditelusurinya nama-nama lain yang akan menjadi teman kelompoknya selama satu semester ke depan.
Shit!
Laila!
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Dialog Hujan
Teen FictionSesekali, egois itu perlu, kan? Karena kita butuh memperjuangkan apa pun keinginan kita, meskipun itu juga diinginkan orang lain. Ratita