Dialog 8

824 117 6
                                    

Pertanyaan 8
Apakah aku monster?

*

Tita berjalan menuju kantin di fakultasnya, ia baru saja selesai menghadiri salah satu seminar umum di Rektorat. Perutnya merasa lapar meskipun semua peserta seminar umum sudah  mendapatkan jatah konsumsi.

“Mbak, mau dibungkus atau dimakan di sini?”

Tita memandang berkeliling, terdapat beberapa anak-anak HMB dan BEM di fakultasnya, juga beberapa anak UKM. “Bungkus aja.” Jawabnya, ia malas harus berbasa-basi dengan kakak tingkatnya. Sejak kejadian Adam yang mengundurkan dari jabatan Gubernur BEM, sedikit banyak namanya disangkut-pautkan.

“Ta,” Tita menoleh, Damar, salah satu anak HMB yang juga pernah Tita bantu dalam mencairkan dana organisasinya, mendekatinya. “Buru-buru? Gabung aja, yuk.” Pintanya, ia menunjuk pada sekumpulan mahasiswa yang duduk tidak jauh darinya.

Tita hanya tersenyum sekilas, menggeleng. “Aku ada kegiatan Kak, lain kali aja ya.” Tolaknya, ia mengambil bungkusan makanannya dan membayar. Ingin secepatnya pergi dari tempat itu.

“Oke, deh.” Damar mengangguk. “Oh ya, tentang open recruitment anggota HMB. Kalau kamu butuh formulir dan persyaratannya, tinggal bilang aja, ya.”

Tita mengerutkan keningnya, “loh, pendaftarannya bukannya udah selesai minggu lalu, ya?” Tanyanya heran, ia teringat Mila and the genk yang heboh sekali tentang hal itu.

Damar mengibaskan tangannya di depan wajah Tita. “Gampang, kok. Kakak panitianya.” Damar kemudian melambaikan tangannya, berlalu.

Tita meringis, dalam hati mengutuk perbuatan Damar, juga perbuatannya dahulu. Akan jadi apa kampus ini, jika birokrasinya saja ditangani oleh orang-orang seperti Damar.

*

Tita menghabiskan makan siangnya dalam diam. Ia memandang berkeliling, suasana di tribun tampak lengang. Tita sengaja memilih tempat ini, ia tak ingin diganggu. Tribun tempatnya berada sekarang terdapat di Gedung Cakra, lantai dua. Biasanya hanya digunakan sesekali, jika terdapat acara besar.

Dulu, Tita hampir tidak pernah menghabiskan waktnya sendirian. Tiap kali ada waktu senggang, ia akan berkumpul dengan senior-seniornya atau berdiskusi di ruang dosen. Seperti penjilat. Kini, ia merasa muak. Menghabiskan hampir seluruh hidupnya hingga sekarang dengan memasang topeng kamuflase, justru membuatnya hanya bertemu dengan orang-orang seperti dirinya.

Damar, Fani, Fahmi, Raka, juga Adam. Mereka hanyalah sebagian dari orang-orang yang memilih untuk hidup seperti dirinya. Mengorbankan hati nurani hanya untuk mencapai kepuasan diri sendiri. Memenuhi keinginan ego-nya, dengan melupakan perasaan orang lain. Bagi Tita, itu bukanlah sebuah masalah. Semua orang melakukannya, menjadi egois untuk memperjuangkan keinginannya, meskipun harus mengorbankan orang lain.

Tita hampir tidak pernah menyadari kesalahannya, atau ia hanya pura-pura tidak sadar. Melakukan pembenaran dengan mengatakan bahwa semua orang juga akan melakukan hal yang sama. Menjadi manusia egois yang menyebalkan.

Ia tidak pernah peduli pada perasaan orang lain, karena orang lain juga tidak mempedulikan perasaannya. Hingga keputusan Adam untuk berubah, keluar dari rencana yang sudah mereka susun bersama, tiba-tiba saja membuka kesadarannya.

Tita mulai kembali berpikir, apakah tindakannya keterlaluan? Apakah orang lain sakit hati akan perbuatannya? Apakah ia menyebalkan?

Ia mulai memikirkan semuanya, menengok ke belakang selama perjalanannya hingga saat ini dan menemukan sebuah fakta; bahwa ia adalah monster. Manusia tanpa perasaan yang sudah melukai hidup seseorang; Laila.

Dialog HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang