Dialog 11

780 111 17
                                    

Pertanyaan 11
Dear semesta, bagaimana kau menulis skenario kehidupanku?

*

Tita merenggangkan otot-ototnya, ia menutup laptop dan memadamkan lampu di kamarnya. Laporan praktikumnya masih berserakan di lantai dan meja belajarnya. Ia menyelonjorkan kaki lalu melanjutkan dengan merebahkan tubuhnya di lantai. Tita memandang dinding-dinding kamarnya, setiap kali ia memasuki kamar ini, matanya langsung terfokus pada sebuah kertas karton yang ditempeli berbagai kalimat-kalimat motivasi.
Itu bukan miliknya, tetapi milik teman sekamarnya yang hingga hari ini belum Tita ketahui orangnya. Diah mengatakan bahwa Kia—nama teman sekamarnya, sedang mengikuti pelatihan di kota lain.

Awalnya, Kia akan kembali pada malam hari tepat setelah Tita pindah di kos itu, namun tersenyata rencananya dibatalkan. Kia rupanya masih harus mengikuti pelatihan lanjutan di tempat lain. Anak organisatoris, dan Tita tidak tahu harus berkomentar apa. Dalam hatinya, sedikit rasa was-was tiba-tiba saja muncul. Dirinya mulai berspekulasi seperti apa teman sekamarnya, apakah nanti ia akan menyukai Tita atau tidak?

Tita mengambil ponselnya, ia membuka galeri dan mencari sebuah foto yang mungkin akan sedikit mengobati hatinya. Tita tersenyum ketika berhasil menemukan foto itu. Foto dirinya dan mama. Hanya berdua dan hanya itulah satu-satunya foto yang dimilikinya. Mamanya tidak pernah suka difoto.

Sejak dulu, setiap kali Tita merasa sedih, ragu-ragu ataupun takut, hanya dengan melihat foto mamanya-lah dia akan merasa semuanya baik-baik saja. Pertemuannya dengan laki-laki tadi membuat memorinya kembali mamanya. Ia merindukan mamanya.

“Apa kabar, Ma?” gumamnya. Semakin lama memandangi foto itu, matanya semakin panas dan mulailah berjatuhan bulir-bulir air mata.

Tita menghela napasnya, meletakkan ponselnya di atas kertas-kertas laporan praktikum lalu menghapus air matanya. Ia memutuskan untuk menggeser tubuhnya hingga tepat berada di atas kasur, lalu memejamkan matanya. Berharap dunia mimpi akan memberikannya sedikit keindahan malam ini.

*

Tita merasakan usapan tangan seseorang di dahinya. Ia ingin membuka matanya, namun kepalanya tiba-tiba saja pening dan ia tidak mampu untuk sekadar menggerakkan kelopak matanya.

“Kayaknya demam, Mbak,” sebuah suara asing terdengar dalam telinga Tita, ia kemudian merasakan sebuah usapan lagi di dahinya. “Keringatnya banyak banget, Mbak.”

Tita tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, namun ia sudah berkali-kali mengalami hal ini. Dalam pendengarannya, ia mampu mendengar suara napasnya yang seperti tersengal dan berhawa panas. Keadaan ini sering dialaminya selama dua tahun ini, setiap kali memori masa lalunya kembali menerjang ingatannya.

Ia hampir terbiasa dengan situasi ini sejak dua tahun yang lalu.
“Bawa ke klinik aja, yuk.” Suara Rinai memberi saran, “siapa tahu demamnya parah.”

Tita mendengar suara berdecak disusul dengan suara Rinai yang menggerutu. Ia sudah bisa menebak bahwa Aini baru saja mencubit Rinai.

“Sstt.. jangan berisik, keluar sana kalian.” Suara Diah yang mengusir Aini dan Rinai terdengar. Tita kemudian merasakan sebuah handuk dingin di dahinya. Seketika, ia merasa suhu tubuhnya tidak lagi terlalu panas. Lalu, lama-lama kantuk menyerangnya dan ia kembali terlelap.

*

Tita merasa dunianya diguncang. Pelan-pelan akhirnya ia mampu membuka kelopak matanya. Sebuah wajah asing yang menyiratkan kecemasan muncul di depannya, ia mengambil handuk dari dahi Tita kemudian menoleh ke belakang.

Dialog HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang