CHAPTER 2

1.9K 64 0
                                    

Alarm ku berbunyi, pukul 04.35. Aku langsung bangkit dan langsung meraih handuk untuk mandi. Kalau hari sekolah aku selalu mandi pagi. Setelah mandi aku solat dan mengaji surat al waqiah. Surat kesukaanku. Walaupun aku fakir ilmu agama, setidaknya aku tidak melupakan agama.

Pukul 05.05 Ibu sudah ada di dapur sedang mencuci piring.
"Pagi Bu." Sapaku.

"Zahra bantu Ibu sini. Kamu mau masak atau nyuci piring?" Tanya Ibu.

Aku langsung mendelik sebal. Ibu pasti menggodaku karena aku tidak bisa memasak.

Ibu terkekeh pelan, "masih pagi Ra jangan manyun gitu ah." Ibu menyenggol bahuku pelan.

Aku diam, dan langsung mencuci piring. Padahal aku ingin berkata, "iya masih pagi, jadi Ibu jangan merusak moodku." Tapi urung aku lakukan.

Sarapan siap pada 05.30. Aku menuju kamarku untuk berganti seragam lalu membangunkan adikku. Sepertinya dia sudah sehat.
"De bangun dong. Udah jam enam kamu nanti telat." Ucapku sedikit berbohong karena itu merupakan cara ampuh untuk membangunkannya.

Terbukti, adikku langsung bangun dan melihat jam. "Masih setengah enam Kak." Ucapnya polos. Dan aku terkekeh berhasil menipu adikku.

Semuanya telah berkumpul diruang makan. Ada Ayah juga. Tapi besok kami tidak bisa sarapan dengan ayah. Jangankan sarapan, makan malam pun tidak. Ayah kerja diluar kota. Dia pulang dua minggu sekali. Bahkan pernah satu bulan tidak pulang.

"Ayah, hari ini aku mau dianter." Ucapku manja pada Ayah disela-sela sarapan.

"Aduh Kak, kamu nih udah SMA jangan manja deh." Ibu menjawab sambil menyuapi adikku yang lebih manja.

"Tapi Bu, kan jarang aku dianter Ayah, sekali-kali."

Baru saja Ibu mau menjawab tetapi sudah di dahului oleh Ayah. "Yaudah Ayah bakal anter kamu."

Aku tersenyum penuh kemenangan. Dan Ibu menghela napas pelan.

Ayah selalu begitu, menuruti apa yang aku mau. Ibu sering bilang pada Ayah jangan terlalu memanjakan ku. Ayah hanya tersenyum dan masih memanjakanku hingga kini. Ayah adalah sosok yang aku sukai. Bukan berarti aku tidak menyukai Ibu. Ayah itu orangnya cuek, kalem, santai, easy going, suka ngelawak, tapi sekalinya marah sangat menyeramkan. Banyak orang bilang Ayah itu galak. Tetapi sebenarnya tiak, mereka hanya berasumsi saja. Ayah sangat baik hati, ramah tetapi irit bicara. Dia juga sangat menyukai anak kecil. Tetapi anak tetangga tidak ada yang berani datang kerumah saat ada Ayah. Galak katanya. Dan aku hanya tertawa jika hal itu terjadi.

Diperjalanan, Ayah menanyakanku ingin melanjutkan ke universitas mana. Aku bilang tidak tau karena aku masih kelas 10. Tapi Ayah bilang, "persiapkan dari sekarang, buat planing supaya nanti engga keteteran." Aku hanya mengangguk karena sebenarnya aku sudah menentukan planing untuk jurusan, tetapi belum menentukan ingin ke universitas mana.

***

Sesampainya disekolah, aku melihat kelas masih sepi. Entah aku yang kepagian atau mereka yang kesiangan. Aku memilih menunggu diluar melihat langit pagi.

Aku duduk dibangku taman dekat musholah. Udaranya sangat sejuk sekali. Kudongakkan wajahku menatap langit dan aku melihat ada awan yang menyapaku. Juga ada matahari yang tersenyum padaku.

"Zahra."
Ada yang memanggil namaku. Akupun menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu Widi.

"Hai Wid, kamu baru dateng?" Tanyaku karena melihat Widi masi menggendong tasnya.

"Dari tadi sih, cuma abis piket rohis dulu." Jawabnya sambil duduk disebelahku.

Aku ber-oh ria.
"Temani aku yuk." Widi menggandeng tanganku menyuruhku berdiri.

CALON IMAM?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang