Hampir seluruh murid kelas 3 Kyunggi High School behamburan; berlari riuh di lorong lantai kelas tiga menuju tempat yang sama. Pastinya papan pengumuman.
Selang beberapa hari usai menyelesaikan rangkaian ujian yang membosankan, wajar kalau kebanyakan dari mereka kini penasaran dengan hasil ujian. Seperti kebiasaaan yang sudah-sudah, selalunya hasil ujian akan ditempelkan di papan pengumanan yang terletak di lantai yang sama.
Sekolah ini cukup unik. Di setiap lantai gedung memiliki masing-masing papan pengumuman yang disesuaikan dengan tingkatan mereka. Lantai pertama untuk murid kelas tahun pertama, dan begitu seterusnya.
Setiap murid dapat mengecek secara langsung hasil ujian yang mereka peroleh. Bukan hanya nilai mereka, tetapi juga bisa mengetahui nilai teman lainnya. Semua hasil bisa terbaca di papan pengumuman.
Suara kembali riuh saat beberapa murid memberikan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang menghela napas lega. Ada yang menertawakan nilai teman yang lain. Ada yang terisak melihat peringkatnya turun. Pun ada juga yang tidak peduli pada peringkatnya yang tidak pernah berubah. Tetap di posisi itu-itu saja.
Contoh termudah adalah dua sahabat yang tidak pernah terpisahkan itu. Jeon Jungkook dan Park Jimin. Dari keseluruhan murid kelas tiga, keduanya merupakan penyandang gelar peringkat terendah.
"Wah ... daebak! Kali ini peringkatku lebih tinggi darimu, Kook-ah. Yuhu ...!" seru Jimin yang membuat Jungkook terpengaruh untuk ikut melihat papan pengumuman
"Eoh. Aku kalah hanya 1 poin darimu. Sial!" umpat Jungkook.
Namun, hanya begitu. Tak terlalu ia sesali. Menurut Jungkook, perbedaan satu poin itu dipengaruhi faktor keberuntungan. Antara Jimin beruntung menebak dengan benar atau pria Park itu beruntung bisa menjawab soal lebih banyak darinya. Yang jelas ia—Jungkook—yakin perbedaan satu angka itu bukan dikarenakan kepintaran Jimin.
Jimin tertawa puas melihat peringkatnya sebagai nomor dua dari belakang. Keduanya bisa tidak peduli dikarenakan orang tua mereka dikenal sebagai salah satu donatur sekolah. Tidak heran kenapa keduanya bisa bersikap acuh.
Berbeda dengan yang dirasakan Kim Taehyung. Baginya keberuntungan itu adalah bisa masuk sekolah mewah ini meski ia berasal dari keluarga biasa. Sangat biasa. Berkat ayahnya yang sudah bekerja lima belas tahun di kediaman salah satu keluarga elit, Taehyung bisa bersekolah dengan beasiswa. Memang bukan cuma Taehyung yang mendapatkan keistimewaan ini, tapi ada beberapa murid lainnya yang senasib dengannya. Mendapatkan beasiswa untuk mereka yang dikategorikan murid cerdas walau tidak mumpuni secara finansial.
Dalam diamnya, Taehyung ikut memeriksa beberapa nama yang terpajang di selembar kertas putih yang tertempel di papan.
"Chukae, Taehyungie.* Kau mendapatkan peringkat 2. Seperti biasanya," puji Jimin tak segan merangkul bahu lebar sahabat pendiamnya itu. (Selamat, Taehyung.)
Pemuda ber-tag name Kim Taehyung itu mengumbar senyum tipis. Park Jimin dan Jungkook, mereka adalah sahabatnya.
Mengherankan bukan?
Sama halnya dengan murid lainnya yang masih tak menemukan korelasi bagaimana bisa seorang kutu buku seperti Taehyung bisa berteman dengan duo bodoh di kelas tiga. Tidak hanya bodoh, tapi kelakuan keduanya yang selalu dianggap konyol, seringnya hanya menjadi bahan tawa di kelas. Dipikirkan berapa kali pun, sama sekali sulit dipercaya Taehyung bisa bertahan dengan mereka. Atau sebaliknya.
Taehyung kembali menyimak deretan nama di papan pengumuman. Hingga atensinya tersita pada pemegang gelar tertinggi semester ini.
Masih sama. Selalu dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Was Made For Loving You [END]
FanfictionMenjadi jenius bukan kesalahanku.. Menjadi cantik bukan pintaku.. Aku rela menukar hidupku dengan kalian... Berhentilah memintaku menjadi lebih dari ini... ~ Kim So Hyun ~