MOS-1

427 26 3
                                    

Ayam mulai berkokok, memainkan irama suaranya. Fajar mulai menyingsing, orang-orang pun bersiap untuk memulai aktifitasnya setelah beristirahat semalaman.

Begitu juga dengan seorang anak bernama Dianne Waterson. Ia tengah bersiap-siap. Betapa senangnya ia mengenakan baju seragam SMP-nya. Wajahnya yang tampan jadi makin tampan ketika tersenyum.

"Dee-dee, ayo turun sarapan!" panggil Ibunya dari dapur.

Dianne pun bergegas turun ke dapur. Ibunya menyiapkan sarapan kesukaannya, roti bakar lapis telur dadar. Ia langsung melahap roti bakar itu bulat-bulat.

"Weh ... anak Ibu ganteng banget pake seragam SMP," puji Ibunya. Dianne menyeringai sangat lebar.

"Hush! Cantik dong, Bu. Anak kita kan cewek," ralat Ayahnya.

"Tapi realitanya kan, gitu, Yah," sahut Ibunya.

"Yaelah ... gitu doang," komentar Dianne sembari melahap sosis gorengnya.

Dianne cepat-cepat menghabiskan makanannya kemudian meneguk susunya dengan sangat cepat. Kedua Orang tuanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putra, eh putri satu-satunya itu.

Author nih kenapa, sih? Gaje.

"Dee-dee berangkat dulu, ya!" kata Dianne pamit pada Orang tuanya.

"Eh, bekalnya nggak dibawa?" panggil Ibu menghentikan langkahnya.

Dianne menepuk jidatnya kemudian kembali sambil tertawa linglung. Ibunya cuma bisa geleng-geleng sama anaknya yang rada-rada itu.

"Oke, kali ini gua berangkat betulan," kata Dianne pamit kemudian langsung berangkat ke sekolah.

Ia berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Penampilannya agak norak karena properti yang harus dipakainya selama MOS (Masa Orientasi Siswa). Tapi entah kenapa, ia terlihat santai saja berjalan kaki sambil menggunakan atribut-atribut itu.

Selama perjalanan, ia melihat banyak anak yang mengenakan seragam dan atribut yang sama dengannya. Bahkan, ia bertemu dengan seorang kakak kelas. Maklum, sekolah favorit mah banyak emang muridnya.

'Btw, si Chico sama Tessa masuk SMP mana, ya?' tanyanya dalam hati.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya ia sampai di SMP-nya.

Bla Bla Bla Junior High School.

Namanya memang aneh, tetapi itu adalah sekolah favorit semua orang. Nggak tahu kenapa, mungkin memang begitu kali, ya?

Ia pun langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam gerbang sekolah. Jiwanya telah mantap untuk mulai memasuki kehidupan SMP. Saking mantapnya, sampai-sampai orang paling mantap jiwa sekalipun (mungkin) tunduk padanya.

Dianne langsung duduk di kursi sesuai dengan nomor urutnya. Dan sialnya, ia mendapat nomor urut 4 yang berarti ia duduk di posisi terdepan barisan keempat. Pasti akan membosankan, pikirnya.

Ia celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya. Banyak anak yang tidak dikenalinya. Tapi tenang saja, pasti setidaknya ada satu atau nggak dua orang yang dulu satu SD dengannya.

MOS hari pertama pun dimulai. Kepala Sekolah naik ke panggung untuk memberikan sambutan. Dan sambutan itu sangatlah panjang. Banyak anak yang menguap saking lamanya kepsek berpidato.

'Ini pidato kah, novel?' batin Dianne kesal. 'Kok panjang amat.'

Seolah-olah dapat mendengar isi hati Dianne, kepsek pun mempercepat pidatonya. Akhirnya, pidato sambutan yang panjangnya luar biasa itu selesai juga. Banyak yang menghela napas sambil mengucap syukur, tapi ternyata masih banyak pidato-pidato sambutan lain yang menunggu.

The Sadness: Bla Bla Bla Junior High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang