Guru Killer

142 17 4
                                    

"Sumpah ... gue masih nggak percaya," kata Joe. Dianne hanya ber-oh ria mendengar kalimat-kalimat penuh rasa iri keluar dari mulut teman-temannya.

"Percaya nggak percaya, gua emang pinter," kata Dianne, dengan sedikit kesombongan dalam nada bicaranya. Ekspresi wajah Dianne yang menyombongkan diri memang enaknya ditonjok saja.

Dianne memang pintar, ia selalu peringkat 1 saat SD. Hanya saja, ia malas ikut olimpiade dan sebagainya. Katanya, olimpiade akan menguras waktu belajarnya di sekolah. Padahal mah, dia cuma malas menyalin catatan pelajaran temannya karena tertinggal pelajaran.

"Oke, ini pertanyaan gue," kata Emily hendak bertanya. "Kalo lo sepintar ini, terus kenapa bisa masuk kelas D?"

Dianne menghembuskan napasnya kasar. Ia paling malas harus memutar ulang waktu ke masa-masa kelamnya. Masa di mana ia masih memakai seragam sailor dengan celana motif kotak-kotak yang kekanak-kanakan. Masa di mana ia makan masih disuapin, pergi dianterin, pulang dimarahin karena sering main ke rumah orang lain nggak pake izin.

Lah, jadi pantun.

Chico yang bosan mendengarkan terus akhirnya ikutan nimbrung dalam percakapan tiga manusia itu.

"Jadi gini, Dee-dee tuh, bisa masuk kelas D karena babal," kata Chico dengan embernya.

'Nih, anak mulutnya enak ditapok aja kali, ya,' batin Dianne geram.

'Pantesan ...,' batin teman-temannya yang lain secara serempak.

Suasana semakin keruh, untungnya Tessa datang ke kelas 7-D di saat yang tepat. Kedatangannya membantu mencairkan suasana yang semakin gawat. Bisa dibilang, Tessa bagaikan matahari di dunia para Teletubb*es. Iya, yang mataharinya bermuka bayi itu.

Tessa datang dengan wajah yang kelihatan lebih keruh dari suasana di kelas 7-D saat itu. Sepertinya, kedatangannya untuk sementara tidak seperti matahari. Setidaknya, topik pembicaraan mereka akhirnya berubah. Tapi, bagaimana jika topiknya lebih suram dari topik awal mereka?

"Eh, eh! Kalian habis ini pelajaran apa?" tanya Tessa dengan tampang was-was.

"Kesenian," jawab Victor. "Kenapa emangnya?"

Wajah Tessa seketika berubah semakin suram. Ekspresi suram, was-was, dan kasihan bercamput menjadi satu menghasilkan ekspresi unik yang sangat tidak enak untuk dilihat. Sementara para bocah kelas 7-D kebingungan. Kenapa anak 7-C masuk ke kelas mereka? Kenapa wajahnya seperti itu? Berita apa yang ia bawa? Memang ada apa dengan pelajaran Kesenian? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala mereka.

"Emang napa, sih?" tanya Dianne tak sabar. "Lu panik tapi nggak mau ngasih tau kita."

Tessa tertawa kecil sambil berusaha mengatur napasnya. Daritadi ia ngomong sambil ngos-ngosan, dan itu melelahkan. Tessa memberi isyarat agar seluruh murid 7-D berkumpul di dekatnya.

"Jadi gini," kata Tessa memulai penjelasan, "kalian jangan macem-macem sama Mr. Rolfe, guru Kesenian."

"Emang kenapa?" tanya Chico. Ini sudah pertanyaan ketiga dengan kalimat yang sama, "emang kenapa".

"Guru killer, yaelah ... !" jerit Tessa. "Nggak usah gua kasih tau pastinya ngerti aja, lah.

"Tadi, Bapaknya baru habis dari kelas gue. Bapaknya tuh, ngajar ngegas amat. Mukanya kek kanebo kering bekerut, nggak pernah senyum. Yang paling nyeremin ...

"Bapaknya nge-jokes tapi garing!!" jelas Tessa dan diakhiri dengan jeritan histeris. Anak-anak 7-D memandang Tessa dengan tatapan "seremnya-apaan-?". Semakin tidak mengerti kenapa Tessa bisa sehisteris itu.

"Seremnya apa, woy?!" bentak Dianne. Entah kenapa, pertanyaan Dianne bisa sama dengan pikiran teman-temannya.

"Aargh ... nggak tau, lah. Gue nggak tau gimana jelasinnya. Pokoknya, kalian bakal tau bagian nyereminnya," kata Tessa kemudian kembali ke kelasnya.

Mereka masih saja saling menatap linglung. Tanpa mereka sadari, guru killer yang Tessa maksud sudah berdiri di depan pintu kelas dan berdehem dengan nyaringnya, memberitahu kepada murid-murid untuk menyingkir dari pintu masuk.

"Baiklah, nama saya Rolfe Brainly. Saya guru Kesenian," kata Mr. Rolfe memperkenalkan diri.

"Pak, saya mau nanya!" seru Emily sambil mengacungkan jari telunjuknya. Wajah Mr. Rolfe seketika berubah masam.

"Siapa yang nyuruh kamu nanya?!" bentak Mr. Rolfe. "Kalo belum waktunya bertanya, jangan bertanya!"

Emily kicep seketika, begitu pula dengan murid-murid lainnya. Mereka baru mengerti bagian seram yang Tessa maksud. Dalam hati, mereka sangat berterima kasih pada Tessa karena sudah memperingatkan mereka dari awal.

Mr. Rolfe yang sudah tenang kini menjelaskan materi bab awal. Mereka semua mendengarkan penjelasan guru dengan seksama, mau tidak mau. Mungkin bagi orang lain, mereka terlihat tekun mendengarkan penjelasan guru. Padahal sebenarnya mereka sangat tegang.

Hingga tiba saatnya bertanya.

"Baik, ada yang mau bertanya?" kata Mr. Rolfe setelah selesai menjelaskan.

"Pak, bisa tolong diulang penjelasannya? Kami masih belum begitu paham," sahut Joe selaku ketua kelas mewakili teman-temannya.

"Kalian ini, otak tuh dipake buat memahami, bukannya dijelasin masuk kuping kanan keluar kuping kiri!" omel Mr. Rolfe.

"Tapi-"

"Nggak ada tapi-tapian! Pokoknya kalian bikin rangkuman materi satu bab, dikumpul minggu depan!" kata Mr. Rolfe kesal lalu pergi meninggalkan kelas.

'Tadi nyuruh nanya, giliran kita nanya malah dimarahin,' batin Joe kesal.

'Salah Bapaknya, ngejelasin kek kumur-kumur,' batin Chico menimpali.

'Maunya apaan, sih?' batin Dianne seolah-olah melanjutkan kata-kata Joe dan Chico.

***

Kriiing~!!!

"Tes," panggil Dianne. "Makasih banget, lah."

"Buat?" tanya Tessa yang bingung.

"Ngasih tau kita biar nggak macem-macem sama Mr. Rolfe," jelas Chico. "Sumpah, hampir aja tadi gue nonjok orang gara-gara Bapak itu."

"Hah? Siapa yang hampir lo tonjok?" tanya Tessa yang penasaran.

"Gue," jawab Jamie. "Untung aja si Joe nepok pipinya pake buku MTK, langsung ingat dia."

Tessa hanya ber-oh ria mendengar jawab Jamie selaku korban. Mereka terus berjalan sampai perempatan memisahkan mereka, kecuali Dianne dan Chico yang rumahnya searah.

Karena rumah Chico berada di deretan paling awal, Dianne pun akhirnya pulang sendiri. Ia benar-benar tak sabar sampai di rumah. Dalam hati, ia merutuki dirinya yang sangat malas naik sepeda. Karena jika ia naik sepeda, ia akan cepat sampai di rumah.

"Nanti sampe rumah berendam di bathtub, terus tuh marathon anime sambil nyemil, nyalain AC-nya dingin-dingin ...," gumam Dianne merencanakan malam minggunya nanti.

Sesampainya di rumah, wajahnya yang awalnya terlihat sangat bahagia langsung berubah drastis. Ekspresi wajahnya seperti orang yang hopeless banget. Mobil yang terparkir di pekarangan rumahnya, dengan sandal yang berjejer cukup membuat Dianne badmood seketika.

Mau tak mau, ia harus mengendap-endap menuju pintu belakang pekarangan rumahnya. Karena jika tidak ...

"Eh, si abang bro! Apa kabar?"

'Oh, shit!'





































Bersambung ...

The Sadness: Bla Bla Bla Junior High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang