Boo! - 1

141 16 1
                                    

Suasana hari selasa pagi itu terasa berbeda. Kelas 7-D yang biasanya ramai kini menjadi sedikit sunyi. Entah ada angin apa. Daripada penasaran, ayo kita lihat apa yang menyebabkan kelas terakhir ini lain dari biasanya.

"Boo-nya di ujung ...," kata Chico seraya menunjuk-nunjuk layar laptop.

"Ambil senjatanya dulu, woy ...!" seru Dianne setengah berbisik. Entah kenapa, bukan ia yang main tapi ia yang gregetan.

"Sabar atuh ... gue mainnya keringat dingin, nih," kata Victor yang sejak tadi terus gemetaran. Oh, rupanya mereka tengah main game. Dari suasananya yang mencekam, sepertinya game horor-misteri.

Sementara itu, teman-temannya yang lain menonton dari layar LCD. Tentu saja, kelas mereka baru selesai presentasi dengan power point. Alhasil, mereka menggunakan kesempatan emas itu untuk mabar + nobar game yang lagi hot, berjudul "Boo!". Pintar sekali, bahkan Author tidak berani melakukannya (walaupun pernah)

"Victor ... itu di belakang lo!" jerit Emily sambil terus menunjuk-nunjuk layar.

"Ah, elah. Apa lagi, si--"

AAAAAAAAA-!!!!

"WAAAAAAAA!!!!"

"Anjir, matiin speaker-nya!"

"Sabar, tong! Gue takut, nih."

"Cabut aja kabelnya!"

"Ntar rusak, tolil-"

"Cabut aja!!!"

JLEGH-!

"Huft ...." Akhirnya, mereka dapat menghela napas lega. Yah ... game yang mereka mainkan tadi memang terkenal dengan jumpscare-nya yang luar biasa bikin terkedjoet. Tapi, bukan itu yang membuat mereka tertarik untuk memainkannya.

"Wagelaseh ...," komentar Victor seraya mengelap keringat dingin di dahinya.

"Gila ...," tambah Jamie. "Suara jumpscare-nya nyaring amat. Siapa yang nyetel speaker-nya nyaring-nyaring?"

Seketika semua terdiam. Tak lama kemudian, terdengar suara kekehan kecil yang terdengar seperti tawa kikuk. Langsung saja mereka semua menghampiri orang itu bersama-sama.

"LO MIKIR PAKE OTAK NGGAK, SIH?!" bentak mereka. Gadis keturunan Korea itu hanya tertawa kikuk.

"G- gue kira ... suaranya bakal pecah kalo nggak nyaring. Jadi ...." Dohwa masih saja tertawa kikuk, sementara teman-temannya yang lain sudah siap untuk meremukkan tulang-tulangnya.

"Haih ... ngulang dari pintu depan lagi, kan ...," keluh Victor yang akan bermain lagi. Mereka pun kembali pada suasana tegang yang sempat hancur tadi.

Game yang mereka mainkan adalah game yang menceritakan tentang teror di suatu kota oleh sebuah boneka yang "hidup". Game itu mengharuskan pemainnya untuk menghentikan si Boneka, atau yang dipanggil "Boo", boneka berwujud gadis kecil dengan jahitan di mana-mana. Jika bisa, pemain akan dapat memecahkan misteri tentang Boo.

Cara menghentikan Boo adalah dengan menusukkan senjata ke tambalan berbentuk hati dalam waktu 3 hari. Jika tidak berhasil, Boo akan menjadikanmu korban selanjutnya.

Sebenarnya, game yang mereka mainkan tergolong mudah. Hanya saja, musik latarnya yang udah serem duluan bikin mereka langsung mental breakdown. Biasa ... ngakunya berani padahal mental kerupuk.

"G- gue mesti jalan ke mana lagi?" gumam Victor. Suaranya bergetar, menandakan ia ketakutan.

"Itu!" seru Dianne seraya menunjuk ke suatu arah. Teman-temannya yang lain langsung melihat ke tempat yang ditunjuk Dianne.

"Mana?"

"Apaan?"

"Nggak ada apa-apa, tuh."

"Iyalah, mata kalian, kan, picek semua ...," kata Dianne menyindir.

"Santai, pok. Nggak usah ngegas," balas Joe.

"Gue nggak ngegas, gue ngomong," sahut Dianne. Oh, jika tidak dihentikan, perdebatan mereka akan makin panjang dan tidak akan ada habis-habisnya.

"Yaudah, lo tadi nunjuk apa?" tanya Victor menghentikan adu argumen dua manusia bernapas itu.

"Tuh, yang ada lembaran putih," jawab Dianne sambil menunjuk-nunjuk layar LCD.

Victor menjalankan karakternya ke arah yang Dianne tunjuk. Benar saja, ia menemukan surat di situ. Tanpa panjang lebar, mereka langsung membaca isi surat itu.

Until 3 am

"Sampe jam 3 ... pagi?" guman Jamie membaca surat itu. "Jam 3 pagi? Berarti kita mainnya sampe jam 3 pagi?! Wagelase-"

BLETAKK!

"Sehari nggak bego bisa, kan?" Oh, rupanya sebuah jitakan dari Dianne berhasil mendarat dengan mulus di kepala Jamie. Jitakan mulus itu menghasilkan sebuah benjol yang indah dan mengkilat.

"Sampe jam 3 pagi ...," ulang Chico. Ia kelihatan berpikir keras. "Coba cari penunjuk waktunya, ada?"

Victor dan murid-murid yang lain mencari penunjuk waktu yang dimaksud. Akhirnya mereka menemukannya di dekat tombol flashlight. Penunjuk waktu itu menunjukkan jarum panjang di angka 6 dan jarum pendek di angka 11.

"Baru jam ... 11.30 ...?" kata Victor tak percaya.

"Kita main daritadi baru jam 11.30?!" pekik Dianne histeris. Oh, dia ngegas lagi.

"Keknya bakal lama, nih," komentar Chico dan dibalas anggukan beberapa murid.

"Lagian, kita jamkos nggak mungkin seharian, kan ...," lanjut Jamie.

"Besok aja dilanjutin. Atau nggak, main sendiri-sendiri di rumah," saran Emily. Langsung saja ia mendapatkan tatapan tajam dari teman-teman sekelasnya.

"Lo nyuruh kita main sendiri, mau bunuh kita, hah?" kata Joe.

"Gue mau nyoba main sendiri."

Semua kepala yang ada di kelas itu langsung menengok ke satu arah. Dianne dengan wajahnya yang sok selaw itu balas menatap teman-temannya. Ia berjalan mendekati teman sebangkunya seraya memberikan flashdisk.

"Lo ... main sendiri?"

"Nggak takut?"

"Kagak," jawab Dianne dengan cepat. "Gue kepo dengan misteri yang ada di game ini. Jadi, gue mau nyoba selesain."

Dianne dapat merasakan pundaknya berat karena teman-temannya meletakkan tangan mereka di atas pundaknya. Entah apa maksudnya, yang jelas Dianne benar-benar merasa berat dan berharap teman-temannya menyingkirkan tangan mereka dari pundaknya.

"Good luck, bro," kata Chico menepuk-nepuk pundaknya.

"Kalo lo takut, panggil aja kami," lanjut Jamie.

"Lo harus tetep hidup, ya," tambah Victor.

Setelah mendengar kata-kata kawalnya, bukannya senang, ia malah menunjukkan ekspresi jijik. "Lebay amat, dah."































Bersambung ...

The Sadness: Bla Bla Bla Junior High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang