Weekend

128 20 5
                                    

Dianne memutar tubuhnya ke belakang, menghadap lawan bicaranya. Tubuhnya bergerak dengan sangat kaku, seperti robot yang kehabisan oli.

Di hadapannya, ia mendapati sosok pemuda yang sangat dikenalnya. Surai dark brown dan iris ocean blue yang khas. Pemuda itu terlihat seperti anak yang baru masuk SMA.

"Randy," kata Dianne menyebut nama pemuda itu.

"Ya?" sahut Randy.

"Ngapain lu ke sini?" tanya Dianne ketus. Suasana jadi hening seketika. Bayangkan saja, tiba-tiba ada suara jangkrik.

"LO NGGAK KANGEN SAMA GUE, HAH?!" jerit Randy histeris seraya menarik kerah seragam Dianne.

"Kagak," jawab Dianne singkat. Satu kata yang cukup bikin nyesek seketika.

Dianne berjalan melewati Randy dan masuk ke rumahnya. Baru saja ia hendak melepas sepatu, ia sudah disambut dengan hangat oleh keluarganya. Ia membalas sambutan itu dengan senyum hangat, padahal ...

'Yaelah ... hancur dah, rencana gua ....'

Begitu.

Setelah mencoba meloloskan diri dari jeratan, lebih tepatnya pelukan Bibinya, Dianne bergegas naik ke kamarnya untuk berganti baju dan mengurung diri di kamar sepuasnya. Ia tidak ingin memikirkan apapun selain bersantai malam itu. Karena, yah ... ini malam minggu. Siapa, sih, yang tidak mau bersantai?

Tapi, rencana Dianne malam itu benar-benar hancur.

"Yo, mamang."

Jika saja dari atas kepalanya bisa keluar magma, mungkin Dianne akan melakukannya sekarang. Betapa kesalnya ia melihat seorang anak yang 2 tahun lebih muda darinya tengah melambaikan tangan sambil baring-baring di tempat tidurnya dan main HP. Ingin sekali ia melempar anak itu dari jendela sekarang juga.

"Adam?" sebut Dianne dengan nada yang gloomy.

"Hm?" sahut anak yang bernama Adam itu. Wajahnya nampak tidak tahu-tahu.

Dianne benar-benar tidak tahan ingin menonjok wajah Adam sampai babak belur. Tapi, ia tidak mungkin melakukannya. Bisa-bisa malah ia yang kena tonjok Ayahnya.

"Keluar, gua mau ganti baju," usir Dianne, mencoba sabar.

"Kalo gua nggak mau?" tolak Adam dengan nada menantang. Oh, dia sudah membuat Dianne benar-benar hilang kesabaran.

"Gua kasih tau Bapak lo kalo lo lagi nonton bokep."

Adam seketika mematung. Bagaimana bisa ia ketahuan? Ia bahkan sudah menutupi selangkangannya dengan bantal guling. Apa Dianne membaca pikirannya? Tapi, Dianne bukan cenayang. Lalu apa? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Adam yang daritadi keringat dingin.

"Pasti lo bertanya-tanya, gimana gua bisa tau, kan?" duga Dianne. "Itu mah, empil!

"Gestur lo yang nggak wajar itu menunjukkan semuanya," jelas Dianne, mencoba seperti para Psikolog yang ia lihat di TV.

"Hah, itu nggak nentuin! Gestur aneh itu bisa berarti apa aja!" bantah Adam. Hoo ... ia jago juga bersilat lidah. Tapi, Dianne punya satu bukti yang tak bisa disangkal.

"Itu selangkangan ngapa ditutupin?" tanya Dianne iseng. "Lo kan, pake celana. Jangan-jangan ...."

"Iya, iya. Gue keluar," kata Adam pada akhirnya dan beranjak dari tempat tidur Dianne. "Lo mentang-mentang kakak sepupu gue, mulutnya ember banget, dah."

Dianne tertawa penuh kepuasan saat melihat Adik sepupunya keluar dari kamarnya dengan tampang malas dan terpaksa. Kini, hanya ia sendirian di kamar. Ia bisa melakukan apapun sesuka hatinya tanpa diganggu siapapun. Tapi, ia harus cepat-cepat ganti baju dan turun ke bawah untuk makan bersama, sebelum ia mendapat bogem mentah dari Ibunya yang sedari tadi terus memanggilnya.

The Sadness: Bla Bla Bla Junior High SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang