.eight

431 73 5
                                    

Pengecut, Seungcheol benar benar seorang pengecut. Ketika Jihoon menghampirinya—bersama pria tinggi itu, pastinya. Ia hany menyerahkan bungkusan cokelatnya dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.

Seungcheol merasa kesal, walau pria itu jauh lebih tinggi darinya, tapi Seungcheol jelas lebih tampan dari dia! Semua orang tahu itu! Seungcheol juga merasa kesal melihat Jihoon yang berjalan berdampingan dengannya. Padahal, biasanya Seungcheol lah yang berjalan bersamanya, setidaknya selalu begitu sejak Seungcheol mengenal Jihoon. Seungcheol merasa pria tinggi yang caplang itu merenggut tempatnya. Lagi pula, Jihoon tidak pernah bercerita tentangnya.

Seungcheol berhenti berjalan. Benar, Jihoon memang tidak banyak berbicara tentang orang orang di sekitarnya. Seungcheol terlalu naif, dia selalu berfikir bahwa Ia adalah satu satunya orang yang dekat dengan Jihoon. Lagipula Jihoon juga sangat manis, lelaki mana yang tidak menyukainya?

Jujur saja, Seungcheol hampir tidak pernah merasakan yang namanya patah hati. Seingatnya, terakhir ia merasakannya adalah ketika ia sekolah dulu. Dan sekarang, rasa itu kembali datang.

"Kenapa juga aku harus memberikannya cokelat? Dasar orang bodoh"

Cokelat yang harusnya menjadi hadiah manis untuk Jihoon rupanya menjadi hadiah perpisahan bagi keduanya.








"Hei, Choi Seungcheol, bagaimana kemarin? Sukses?"
"Ssssttt! Jeonghan!"
"Tidak apa apa, Jisoo" Seungcheol merespon mereka tanpa mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas.
"Jadi?"
"Aish, Yoon Jeonghan"
"Tidak, semuanya tidak berjalan lancar, ataupun sukses, atau apalah, terserah kalian"
"Kurasa dia cukup menyukaimu, apa dia tidak suka cokelat?" Jeonghan menyeringai, menggoda Seungcheol sangat menyenangkan.
"Omong kosong, Jeonghan. Kau bahkan tidak pernah bertemu dengannya" Seungcheol mengusap wajahnya kasar. "Dengar, saat ini aku tidak ingin membicarakan Jihoon."
"Baik baik, maafkan aku." Jeonghan terkekeh "Setidaknya berhentilah memelototi kertas kertas itu, jam istirahat sudah hampir habis, kau tahu?"
"Berisik, pergi sana"
"Ah, iya iya"

Seungcheol menatap punggung Jeonghan dan Jisoo yang semakin menjauh, walaupun matanya terus memelototi sketsa dan dokumen dokumen ini, ia tidak bisa mengelak bahwa sejak tadi—kemarin, ia tidak bisa berhenti memikirkan Jihoon. Tapi, beberapa kalipun ia mengulas senyum ketika memikirkan pria mungil itu, senyumnya kembali hilang, ketika ia mereka ulang kejadian lalu.

Persetan, lah. Toh, aku akan senang kalau Jihoon senang

Omong kosong, Seungcheol. Omong kosong.

Seungcheol menghela nafas lelah, sambil meraih ponselnya yang tidak berhenti bergetar. Ia sudah tau pasti, bahwa Jihoon lah yang meneleponnya. Namun, ia tidak mempunyai sedikitpun keberanian untuk mengangkat telepon tersebut. Ia belum siap mendengar suara Jihoon, yang pastinya akan memberitahukannya mengenai pria caplang tempo hari. Seungcheol hanya butuh waktu untuk memproses dan menerima semuanya, karena itu ia mengabaikan Jihoon.

Sesaat kemudian, ponselnya berhenti bergetar, Ia melihat pesan pesan Jihoon yang terpampang di panel notifikasi. Hampir semuanya berisi permohonan Jihoon agar Seungcheol mengangkat teleponnya. Untuk apa juga ia mengangkat telepon Jihoon? Toh, hatinya hanya akan bertambah sakit.

Walau Jihoon tidak meneleponnya lagi, anak itu tidak menyerah. Ia membombardir Seungcheol dengan pesan singkat, dan pesan terakhir darinya membuat Seungcheol meneguk ludahnya.

"Berhenti menghindar. Aku akan pergi menghampirimu sendiri."









"Yah! Lee Jihoon! Apa maksudmu kau tidak bisa ikut denganku dan Wonwoo?"
"Ada urusan penting, sudahlah, sampaikan salamku kepada Wonwoo"
Soonyoung mengerucutkan bibirnya "Cih dasar pengkhianat, jika ada urusan penting kenapa tidak bilang dari kemarin kemarin!"
"Tidak bisa, ini urusan mendadak. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi rajukanmu, Soonyoung"

You Sure?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang