.ten

532 70 11
                                    

Jihoon merasa hancur untuk kedua kalinya. Sudah tiga—bukan, empat hari Jihoon tidak bekerja, jiwa dan raganya benar benar letih. Rasanya energinya terkuras habis tak bersisa.

Bisa dibilang, ia menyesal telah membuka hatinya kepada Seungcheol. Ditambah lagi ia ditolak mentah mentah. Padahal, Jihoon sudah berjanji kepada dirinya sendiri agar tidak membuka hatinya pada siapapun. Jihoon seharusnya berpegang teguh pada motto hidup yang membuatnya menjadi pribadi yang seperti sekarang ini.

Cinta itu tidak ada

Orang orang yang seumuran dengannya pasti akan berpikir bahwa Jihoon itu aneh dan menyianyiakan masa mudanya yang singkat itu, seperti Soonyoung, misalnya. Walau Jihoon tahu, teman sipitnya itu hanya ingin Jihoon bahagia. Namun tentu semuanya tidak semudah itu, argumen Jihoon juga bukannya tidak berdasar, hanya saja ia menolak untuk menjelaskan alasan atas pendapatnya itu, ia terlalu takut untuk mengorek masa lalunya yang ia kubur dalam dalam, ia tidak suka melihat orang lain mengasihaninya, Jihoon itu orang yang kuat, hanya perawakannya saja yang kecil.

Jihoon menghela nafas berat, kepalanya selalu terasa pening jika ia mencoba mengingat kejadian kejadian tidak menyenangkan yang dialaminya dulu. Kalau sudah begini, Jihoon rasanya ingin mabuk saja jika ia tidak terlalu malas untuk membeli bir di luar sana.

Lelaki mungil itu bangkit dari ranjangnya, ia berjalan menuju ruang makan, ia menemukan selembar kertas di atas meja. Kertas itu berisi tentang ibunya yang sedang berbelanja keluar.

Ah, benar, ibunya.

Ibunya pasti sangat khawatir melihat putra semata wayangnya mengurung diri selama empat hari, yang hanya keluar ketika ia ingin ke toilet, ataupun sekedar mencomot camilan di lemari yang ia bawa kedalam kamar. Bagus sekali, sekarang Jihoon merasa menjadi orang yang paling egois di dunia.





















"Eomma pulang"
"Oh?" Jihoon mengangkat kepalanya "Eomma sudah pu—
"JIHOON-AAAAHHHHH!"

Ya, teriakan melengking itu adalah Kwon Soonyoung, yang langsung menubruk Jihoon tanpa permisi.

"Ya! Ya! Menyingkir! Eomma! Kenapa dia ada disini?!"
"Ah? Akhirnya kau keluar! Eomma bertemu Soonyoungie dan pacarnya di depan rumah, jadi Eomma mengajak mereka masuk. Barang kali mereka bisa membangunkanmu dari hibernasi"
"Eomma, aku tidak berhibernasi!"
"Kau terlihat seperti itu. Kenapa dengan matamu?!"
"Itu tidak penting, Eomma! Yang jelas singkirkan dia"
"Maaf mengganggu" Pemilik suara itu adalah Seokmin yang membungkuk berkali kali dengan senyum canggungnya.
"Jihoonie~ Kenapa kau tidak membalas pesan dan mengangkat telepon?! Kau gemar sekali membuatku dan yang lainnya khawatir aish. Eomma-mu bilang kau juga tidak keluar dari goa kesukaanmu itu!!" Soonyoung yang histeris memegang bahu sempit Jihoon dan mengguncangkannya anarkis, membuat Jihoon pusing akan perlakuannya.

"Ah! Hentikan Kwon! Dan jangan menyebut kamarku 'goa' dasar bodoh! Eomma, kenapa ia diberitahu?!"
"Dia kan temanmu~ sudah sana! Berbincanglah di ruang tamu, aku yakin kamarmu seperti kapal pecah"

Jihoon mendengus mendengar perkataan ibunya. Tidak salah, sih. Kamarnya memang seperti kapal pecah sekarang.

"Ayo" lelaki mungil bersurai hitam itu melangkah lebih dulu, memimpin jalan.
"Aku harap kau tidak marah karena aku membawa Seokmin kesini" Soonyoung mengoceh asal sambil mengekor dibelakang Jihoon.
"Untuk apa aku marah karena Seokmin?!"
"Serius deh, Jihoon. Kau akan membuat Seokmin takut kalau kau terus berteriak seperti itu.. Seokmin yang malang" Kata pemuda bermata sipit itu sambil mengelus pundak lelaki tegap di sampingnya, sementara sang empunya tetap tersenyum canggung seperti tadi. Jihoon hanya memutar matanya malas dan tetap berjalan menuju ruang tamu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 17, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

You Sure?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang