.nine

366 60 6
                                    

Cahaya matahari melesak melewati jendela tanpa permisi, menelusup kedalam netra seorang pemuda yang sedang tertidur. Pemuda itu berdecak pelan sebelum menarik selimutnya sampai ke atas kepala sebagai bentuk ketidaknyamanannya. Ia mengerang, sebuah selimut tipis tidak mampu menahan cahaya yang mengganggu ini. Ia berguling ke kanan dan ke kiri sebelum benar benar bangun dan mendudukkan dirinya diatas kasurnya yang empuk.
Kepalanya berdenyut. Sepertinya ini adalah efek dari alkohol yang ia minum semalam, entahlah, ia bahkan tidak ingat kejadian apapun setelah ia mabuk.

Ketika ia mencoba turun dari ranjangnya, kakinya tidak sengaja menyenggol sesuatu—sebuah tas kertas. Yang terlihat asing dan familiar disaat bersamaan. Persetan, satu satunya jalan untun menyegarkan pikirannya adalah mandi air dingin. Ia benar benar bersyukur proyeknya sudah selesai, yang artinya dia bisa benar benar menggunakan waktu liburnya untuk beristirahat. Secara, pekerjaannya membuat siklus tidurnya kacau. Bahkan, ia hanya bisa tertidur selama 10 jam seminggu.

Pemuda berbulu mata lentik ini beranjak mengambil handuk dan baju ganti, tentunya, diikuti dengan acara mandi paginya.
Setelah itu, seperti biasa ia mengeringkan rabutnya dan membuat sarapan di dapur, sekalipun itu hanya selembar roti tawar yang diolesi selai kacang ataupun cokelat, tergantung yang mana yang lebih murah.

Choi Seungcheol, mengunyah rotinya perlahan. Ia sudah merasa baikan, kepalanya tidak berdenyut separah tadi. Namun, ia belum mengingat sesuatu. Toleransi Seungcheol terhadap alkohol bisa dibilang baik, dan ia bangga dengan itu, tetapi, sepertinya ia sedikit melebihi batas sampai ia tidak dapat mengingatnya sama sekali untuk saat ini. Tetapi, ia merasa harus mengingatnya karena kejadian semalam terasa penting. Sudahlah, ia tidak mau memaksa otaknya untuk mengingat itu saat ini juga. Namun, Ia malah mengingat tentang tas kertas yang hampir ia injak beberapa waktu lalu. Tas kertas itu seharusnya berisi cokelat yang ia berikan pada Jihoon. Pantas saja rasanya familiar dan askng di saat bersamaan. Familiar, karena ia yang membelinya. Asing, karena seharusnya itu ada pada Jihoon.

Seungcheol tidak bisa dan tidak mau menjadi orang yang munafik. Ia tidak bisa menyanggah kalau ia gemar memikirkan lelaki manis yang ia temui secara tidak sengaja di dalam bus umum, yang ternyata selalu pulang di jam yang sama dengannya, menaiki bus yang sama hampir setiap hari. Seungcheol juga menyadari kalau dia menaruh hatinya pada pemuda itu dan memberanikan diri untuk menyapanya.

Memikirkan Lee Jihoon membuat Seungcheol mengulas senyum tipis.

"Lee Jihoon ya.."



"Aku juga tidak ingin melihatmu lagi. Percuma saja aku membuang waktuku untuk menyukai orang sepertimu."


Seungcheol berhenti mengunyah rotinya. Sepertinya ia mulai mengingat kejadian semalam.
Benar, tas kertas itu ada disana karena Jihoon melemparnya sebelum ia pergi. Tapi kenapa Jihoon mengatakan kalau ia tidak ingin melihat Seungcheol lagi?
Kepala Seungcheol kembali berdenyut. Apa dia mengatakan sesuatu yang membuat Jihoon seperti itu? Dia hanya ingat, kemarin malam ia pergi ke taman kesukaannya sambil membawa beberapa kaleng bir, lalu ia mulai meminumnya sampai seluruh kalengnya kosong. Ia jelas tahu kenapa ia bertindak seperti itu, dadanya selalu sesak jika ia mengingat Jihoon berkencan dengan pria lain, walau kasarnya ia bukanlah siapa siapa kecuali teman bagi Jihoon.

"Pergi, aku tidak ingin melihatmu lagi"

Sekarang, Seuncheol mengingat semuanya. Alasan utamanya untuk pergi ke taman adalah untuk menghindari Jihoon yang nekat untuk menemuinya di kantor. Kemudian, saat ia sedang minum, Jihoon menyusulnya sambil membawa tas kertas berisi cokelat pemberiannya, dan sepertinya ia berbicara tentang ingin menjelaskan sesuatu? Entahlah. Seungcheol yang kala itu masih merasa frustasi akhirnya gagal mengendalikan dirinya dan malah mengusir Jihoon pergi. Dan lebih parahnya, Jihoon balik mengatakan bahwa ia juga tidak mau melihat Seungcheol lagi.

Seungcheol mengusap wajahnya kasar, merutuki setiap perkataannya ketika ia sedang mabuk kemarin. Ia tidak bermaksud mengatakan hal sekasar itu kepada Jihoon, ia hanya ingin diberikan waktu untuk sendiri. Tetapi Jihoon merusak semuanya dengan datang kesana.

Tidak, dirinya sendiri yang merusaknya karena tidak memberikan Jihoon kesempatan barang sedikitpun untuk menjelaskan peristiwa itu dari sudut pandangnya. Ia menutup telinganya dan hanya berpatok pada spekulasi yang ia buat sendiri. Katakanlah Seungcheol egois, tapi benar adanya jika ia merasa laki laki yang bisa bersanding dengan Jihoon adalah ia seorang, bukan orang lain.

Seungcheol meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh darinya. Jihoon tidak menghubunginya, tentu saja. Siapa juga yang mau menghubunginya ketika ia sudah berkata seperti itu. Tetapi Seungcheol berpikir, akan sangat canggung baginya jika tiba tiba ia menghubungi Jihoon untuk meminta maaf dan tetek bengeknya, dan ia terkesan menjilat ludah sendiri, jadi ia menahan dirinya untuk itu.






Sepertinya lebih baik ia kembali tidur.



Maaf ya kalau terlalu sedikit, disini aku cuma mau fokus ke sudut pandang Seungcheol dulu ㅠㅠ

You Sure?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang