DUA

1.6K 71 0
                                    

Caca…Caca….Caca…, kata-kata yang selalu dikumandangkan Barry dalam lamunannya.

“Kapan aku bisa ketemu dia lagi? Hemhh, itu sepertinya sulit. Nggak mungkin terjadi.”

Barry coba menenangkan hatinya sendiri untuk berhenti memikirkan Caca. Lagipula, siapa itu Caca dia juga tak mengetahuinya.
Keesokan harinya, Barry pergi ke sebuah bazar pendidikan. Tepat di kampusnya yang dulu, UGM.

Kampus yang membawa gelar S1 Teknik Sipil dan Perencanaan untuk Barry, sebelum akhirnya dia mendapat beasiswa S2 ke Australia.

Berkeliling mencari buku-buku penting, sambil membaca brosur yang dipegangnya. Hingga seorang dosen menghampiri dia.

“Barry  Jagadityo. Akhirnya datang juga.”

“Pak Suroso, suatu kehormatan bagi saya dipanggil ke sini. Kalo boleh tahu, pemanggilan saya ini menyangkut hal apa ya pak?”

“Ini kan bazar pendidikan, saya hanya akan memberi contoh konkrit  alumni sukses. Saya dengar kamu sudah bekerja di sebuah kontraktor di Australia.”

“Ah Bapak berlebihan kalo bilang saya alumni sukses. Lagipula saya sudah berhenti dari pekerjaan itu. Saya ingin kembali ke Indonesia dan mencari peruntungan di sini.”

“Sudahlah jangan merendah, walau begitu belum ada mahasiswa saya yang IPK nya konstan di atas 3,8 kecuali kamu.”

“Baiklah, tapi saya harap bapak jangan berlebihan membicarakan prestasi saya.”

“Hahaaaaa, tenang saja, saya sudah bisa menebak kalimat ini yang tak terlewat untuk kamu katakan.”

Acara inti pun sudah dimulai. Pidato rektor, sedikit hiburan, dan akhirnya iklan prestasi. Suara pak Suroso sudah siap memanggil para mahasiswanya yang berprestasi. Nama demi nama dipanggil ke atas panggung.

Tak kurang dari 3 orang sudah berbaris di sana. Kini giliran Barry untuk naik ke atas panggung dengan embel-embel dari pak Suroso yakni alumni sukses. Sambutan singkat juga petuah ringan segera diluncurkan Barry untuk para juniornya.

Begitu selesai, pak Suroso memberi jabatan tangan kepada Barry sebagai ucapan terima kasih, dilanjutkan dengan ketiga mahasiswa berprestasi yang sebelumnya sudah berbaris menyambut uluran tangan Barry.

Tepat di mahasiswa terakhir, Barry kembali tertegun lemah, melambatkan gerak  tangannya sambil berkata, “Caca.”

Wanita itu hanya menatapnya sekejap lalu berpaling dan menarik tangannya dari Barry. Acara pun berlanjut sebagaimana mestinya.

Seperti orang bingung, tapi Barry terus mencari. Dimana Caca..dimana Caca..dan dimana Caca, mahasiswi jurusan manajemen favorit pak Suroso.

Hingga matanya terhenti pada sosok wanita di bawah pohon, sedang menikmati es krim ditangannya. Tak ada kata lain selain menghampiri.

“Hello Caca, masih ingat aku?”

“Percaya atau tidak, aku masih ingat.”, jawab Caca mengejutkan Barry.

“Ahh, akhirnya. Aku kira kita nggak akan ketemu lagi.”

“Memangnya ada masalah kalo kita nggak ketemu lagi? Ini kebetulan.”

“Mungkin bagimu kebetulan, tapi bagiku tidak.”

“Maksudnya?”

“Lain waktu kamu akan tahu.”

“Nggak usah main sembunyi-sembunyi dehh, sama sekali nggak lucu.”

“Owh, itu terserah kamu. Btw, ternyata kamu pinter juga yah. Bisa jadi salah satu dari ketiga mahasiswa idola versi pak Suroso. Dia itu terkenal selektif loh orangnya.”

“Nggak usah dikasih tau kali. Dia juga dosen ku. Ehmm, oh apa maksud kamu, kamu merasa hebat karena pak Suroso mengistimewakan kamu hari ini?”

“Haaddeeeehhh,, jangan underestimate sama orang yang baru dikenal dong.”

“Oh, sorry. Tapi kita memang nggak kenal. Dan kamu juga jangan sok kenal.”

“Oke oke. Kelihatannya aku salah timing lagi. Aku akan pergi, tapi kamu nggak usah cemberut gitu.”

“Nggak perlu, biar kali ini aku yang pergi. Permisi.”, nada Caca mengecewakan.

Saat beranjak, ternyata es krim yang dipegangnya terjatuh di baju Barry. Caca langsung panik untuk membersihkannya.

“Sorry sorry, nggak sengaja.”

Ada apa sama wanita ini, dia tiba-tiba jadi lembut kembali. Seperti saat pertama bertemu Barry. Caca pun berlari ke salah satu stand yang menjual tisu.

“Sini biar aku bersihin.”, katanya.

Barry hanya tersenyum melihat tingkah Caca, dan membiarkannya. Caca terus membersihkan baju Barry.

“Ahh, gimana ini, nodanya nggak mau hilang.”, keluh Caca.

Barry pun segera merebut tisu yang dipegang Caca, “Udah nggak papa. Biarin begitu.”

Tapi Caca lantas melepas jaketnya dan melilitkan itu dipinggang Barry, tepat di noda es krim yang nggak mau hilang.

Dia bilang, “Aku nggak mau masalah jadi panjang. Pakai jaket ini dan sampai di rumah, kamu boleh membuangnya.”

Sungguh aneh. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Caca pergi. Barry membiarkan dia menjauh.

dalam hati Barry berkata, ”Kamu pikir dengan begitu urusan akan selesai? Justru perlakuanmu barusan dan jaket ini yang akan membuat urusan menjadi panjang.” dia tersenyum.

VOTE





Masalah Hati (CERPEN 2012) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang