Delapan

811 24 0
                                    

⭐⭐⭐⭐⭐

Tiap pulang kantor, Barry sering meluangkan waktu buat ketemu Caca atau sekedar nemenin ayah Caca nonton bola. Perhatian Barry membuat Caca nyaman dengan hubungan mereka.

Caca sendiri tak kalah perhatian. Dia super romantis, bisa menyiapkan menu makan siang istimewa sesuai keinginan pasangannya itu. Mereka memenuhi kebutuhan pasangan masing-masing.

Walau belum bekerja, tapi sedikit-sedikit Caca sudah bisa menghasilkan uang sendiri dengan membantu bisnis online temannya. Barry pun juga memberi jatah bulanan buat Caca. Itu karena keinginan hati Barry sendiri.

Caca sudah sering menolak, tapi alasan Barry membuat Caca tak berdaya, "Caca sayang, ambil uang ini. Aku percaya kamu bisa gunakan dengan baik. Apapun itu, aku percaya kamu."

Tapi benar saja, Caca tak menggunakan uang jatah dari Barry sepeser pun. Dia menerimanya, lalu menabungnya di bank. Dia membuka tabungan khusus. Bahkan Barry sendiri tak tahu menahu soal ini.

Tak terasa, hubungan mereka hampir memasuki usia satu setengah tahun. Lebih dekat dan pasti lebih serius. Tiap Barry dapat tugas ke luar kota, dia sering mengikutsertakan Caca. Tentunya atas izin kedua keluarga. Hal demikian dibolehkan karena Barry dan Caca bisa menjaga kepercayaan.

Caca suka membantu pekerjaan Barry, atau justru merecokinya saat Barry tengah suntuk. Alasannya, dengan direcoki, Barry bisa lebih rilex. Yahh, apapun itu. Mereka serasi.

Phone---)

Barry: "Bu Jagad belum bangun?", goda Barry pada Caca.

"Siapa bilang? Nih aku angkat telepon kamu. Kenapa telepon pagi-pagi gini? Tumben, biasanya tunggu sms sayang dari aku dulu. Hemhh"

"Nggak papa dong, daripada nggak sama sekali. Hee. Oh ya, ntar ikut aku ke suatu tempat ya. Aku mau kenalin kamu sama seseorang."

"Hari ini? Kok mendadak banget sih?"

"Sayaaaang, please dong !!"

"Iya iya..anything for you. Demi kamu nih."

"Makasih cimi cimi ku,, Haaa. Ntar ku jemput jam 9."

"Hemh, kalo ada maunya aja..bissaa romantis. Tiap hari kek."

"Husst, aku sayang kamu, selalu !!", menutup telepon.

"Dasar Barry, nggak bisa ditebak. Tapi,,,tiap hari dia udah romantis deh, kurang apa ya? Haa..!!", ujar Caca malu-malu setelah menutup telepon.

On time, jam 9 pagi Barry sudah duduk berdampingan ayah Caca di teras sambil menikmati secangkir kopi. Seperti sudah budaya, Barry menyadari kalau Caca suka dandan lama. Tak masalah lah bagi dia. Menunggu itu memperdalam kesabaran. Caca muncul, pamit, lalu mereka berangkat.

Di perjalanan, Barry bilang kalau mereka mau mengunjungi keluarga sahabatnya. Sahabat Barry yang begitu dekat dengan dirinya. Caca baru tahu hal itu sekarang.

Mulai masuk ke sebuah kompleks perumahan, arah yang sudah dikenal Caca. Masuk blok yang lebih akrab dengan Caca. Caca sesekali menahan nafasnya, dia sangat tegang. Kenapa ke sini?

Satu demi satu nomor rumah ia perhatikan, lalu tepat lah di nomor 13 mobil Barry berhenti. Kompleks, blok, dan nomor yang sama sekali tak asing lagi bagi Caca, tapi justru menyesakkan Caca.

"Yuk turun. Udah nyampek."

"Kenapa di sini? Kenapa kita ke sini? Tidak kah ada rumah lain?", nada Caca terisak lemah.

"Sayang, kamu kenapa?"

"Apa hubungan kamu sama pemilik rumah ini?"

"Ini rumah almarhum sahabat aku, Arya Darwinto."

Jeddar,, hati Caca terbelah petir. Kata-kata Barry membuatnya lemah.

Caca bertanya, "Apa kamu tahu kenapa dia meninggal?"

"Karena kecelakaan.", Barry menjawab dengan terbata-bata.

"Iya, kecelakaan. Dan bukannya 5 hari dari sekarang adalah hari kematiannya? Bukannya dia dikubur di mana pertama kali kita bertemu?", Caca menangis.

"Ca, kamu tahu semua. Jangan bilang kalo waktu itu kamu ziarah di makam Arya."

"Dan apa kamu tahu apa hobi Arya yang aneh, keras, dan nggak bisa dibantah sama siapapun?"

"Itu... !! Arya.. suka de..mo."

"Benar. Dia fanatik demo.", Caca menegaskan.

"Jangan bilang juga, kalo kamu ngotot demo karena dia. Ca..bilang sama aku."

"Dan, dia punya sahabat yang sekolah di luar negeri. Terus kamu lulusan Australia. That's it."

"Ya Allah,,, Caca..!! Kamu??!!", Barry meratap

Tiba-tiba Caca berteriak sambil menangis, "Kenapa waktu itu kamu nggak kembali ke Indonesia? Kenapa kamu buat dia kecewa? Kenapa kamu buat dia meninggal?"

"Dengerin aku Ca, maaf banget tapi waktu itu sidang thesis ku dimajukan. Aku nggak mungkin pulang dan aku ngga sempet ngabarin beberapa hari sebelumnya ke arya. Ca,, maaf !!"

"Thesis? Gara-gara itu kamu membuang sahabat kamu?"

"Ca...bukan...", Barry merendahkan suaranya.

"Cukup...!! Aku cukup tahu. Aku nggak marah sama kamu. Tapi aku kecewa.", setelah kalimatnya sampai ke titik, Caca langsung keluar mobil, membanting pintu mobil dengan keras dan dia pun pergi dengan sebuah taksi.

Barry ikut meneteskan air matanya. Bersimpuh di samping mobil. Dia merasa jahat. Dia sedih atas dirinya. Tak bisa berbuat apapun, dan membiarkan Caca pergi. Niatnya untuk berkunjung ke keluarga Arya pun diurungkan. Mereka berdua terpukul.

* VOTE ya *

Masalah Hati (CERPEN 2012) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang