Bab 2

2.4K 146 31
                                    


KANTI menyingkap tirai biru penutup jendela. Jatuhlah serbuk debu keemasan menumpahi rambut dan wajah. Diabaikannya debu-debu itu tertahan di udara sampai jatuh ke lantai dengan sendirinya. Matanya masih tertuju pada tirai itu. Tirai itu harus segera diganti, begitu pikirnya. Warna birunya norak, membuat kamar yang sudah sumpek dan kusam itu semakin terlihat kotor.

Getir rasanya ketika dia harus bangun di kamar itu. Walau cat dinding sudah keropos dan kawat nyamuk sudah mbrodol, ia adalah kamar terbaik yang bisa diperolehnya dengan penghasilan serba pas.

Ujung telunjuk mengetuk-ketuk permukaan kaca jendela. Panas dan berlapis debu. Untuk kesekian kalinya dicobanya menarik selot kunci lalu ditekannya bingkai jendela. Tak ada yang terjadi. Daun jendela itu mengatup seperti dilem, akibat bertahun-tahun lamanya tak pernah dibuka.Ya, memangnya apa yang bisa dinikmati dengan jendela terbuka di tempat gersang dan bising seperti itu? Suara las, pukulan palu bertalu-talu, klakson, deru kendaraan, teriakan dan rumpian orang-orang menyerbu dari tiap sisi. Kalau tidak terpaksa dia tak bakal pindah ke tempat itu, apalagi di pinggir pasar begitu. Jauh dari damai dan bukan lingkungan yang permai.

Realita baru terpampang di balik jendela. Realita yang tak pernah dia inginkan. Namun, semakin dia berusaha menerima realita itu, semakin keras pula dia meratapi kesialan yang menimpanya. Sejujurnya tak ada yang ingin dia lakukan sekarang, dia memandangi sekeliling kamar dengan bosan. Dia telah mengusahakan dekorasi untuk kamarnya itu, berupa gambar-gambar tak berpigura yang ditempel ke tembok, vas kecil berwarna putih di atas meja, cermin kecil dengan hiasan bunga-bunga kering digantungkan pada paku di dekat pintu. Tapi sentuhan itu terlalu kecil untuk mengubah kamar tua nan sempit ini menjadi semakin apik.

Hsssh! Kanti bersin. Debu kecil masuk mengusik hidung bersama aroma tengik dari pojok kamar.

Banyak perkerjaan menantinya di sela-sela bundelan kertas dan map yang teronggok di atas meja. Kuas dan cat tersimpan rapi dalam kotak yang diletakkan dekat jendela, siap digunakan di malam-malam ketika daya kreasinya membara. Begitu kuno, tapi dengan cara itulah Kanti mencari rupiah.

"Emang di sini enggak kejauhan, Mbak, dari kampusnya?" Pak Dayat, si pemilik kos berambut jarang, bertanya begitu padanya di hari dia pindah.

"Enggak, Pak. Saya ambil cuti semester ini," jawab Kanti seraya melempar sekilas senyum. Pak Dayat tak bertanya-tanya lagi setelah itu, meskipun Kanti tahu Pak Dayat menyimpan banyak pertanyaan.

Cuti. Sampai batas waktu yang belum ditentukan. Selama beberapa waktu dia gelisah memikirkan apa yang harus dia katakan pada teman-teman kuliahnya guna menjelaskan situasinya yang sedang kacau. Tapi kegelisahan itu terbukti sia-sia, karena toh tak satu pun dari teman-temannya itu menanyakan kabarnya.

Ini bukan kali pertama dia hidup di tengah kesendirian. Walau begitu tak bisa dipungkiri sesekali dia melongok smartphone-nya, berharap ada satu saja notifikasi pesan dari seseorang. Entah apa yang salah dengan dirinya sehingga orang-orang enggan bergaul berlama-lama dengannya. Kelihaiannya melukis rupanya tak cukup untuk dijadikan daya tarik. Dia selalu kekurangan energi untuk meyakinkan orang lain bahwa dia mampu jadi teman yang hebat.

Kanti biasa mengatur janji sendiri, pergi ke luar sendiri, memilih café atau warteg sendiri, duduk makan dan minum sendiri. Lalu tiap sore berjalan-jalan sendiri keluar masuk gang dekat kos, suatu hal yang tak bisa dia lakukan tanpa iring-iring siulan dan panggilan para pria kurang kerjaan yang nongkrong di pinggir jalan. Belum lagi sentilan motor-motor yang nyelonong lewat memotong jalannyadengan gaya serampangan. Setelah semua itu dia masih harus terkontaminasi bau-bauan sengak mirip bau oli.

Meski banyak hal yang tak dia sukai, Jatinegara punya sebuah toko perlengkapan seni yang cukup membangkitkan semangat. Sebuah oase yang dia temukan di tengah penat kota. Kanti menikmati saat-saat berkontempelasi di dalam toko itu. Dia berkhayal bisa membeli semuanya barang di toko itu, begitu dapat uang banyak. Tak lama kemudian khayalan itu surut, Kanti ingat klien-kliennya yang begitu sering menunda pembayaran. Dia mendengkus ragu.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang