Bab 10

660 70 0
                                    


Pria bertopi bernama Adi duduk bersila di satu bangku plastik. Urat-urat di tangannya yang memang sudah menonjol selain saking kurusnya dia juga akibat mati-matian bekerja pakai fisik. Malam ini urat di sekeliling matanya juga pada keluar. Seorang kate yang duduk di seberangnya berhasil bertahan gontot-gontotan dalam permainan judi gaple yang sudah satu setengah jam berlangsung. Mulanya berempat, sekarang menipis, dua tertinggal. Di sekeliling mereka orang-orang mengawasi jalannya permainan dengan gairah melecut di tengah kepulan asap.

Adi sejak kecil di jalanan dan sampai punya anak pun dia masih di jalanan. Dia membangun sarang di kolong jalan. Dulunya di kolong jalan layang Kasablanka. Pindah ke bantaran kali Cipinang, lalu ke Jatinegara, di kolong jalan layang Kampung Melayu. Sebentar lagi Asian Games akan berlangsung, pasti aparat keamanan lebih gencar melangsungkan penetralan kawasan arteri, karena itu dia merapat agak ke timur kota.

"Nggak pulang lo, Man? Ondel-ondel gimana?" sela Adi berusaha mendistraksi si kate. Tanpa perbuatannya itupun si kate sudah hampir kehilangan konsentrasi akibat musik dangdut dari warung sebelah yang bikin gendang telinga seperti mau bocor.

"Alah, udah dikit juga sekarang yang muterin, tu bocah-bocah udah nggak berani lagi di jalan malem-malem," jawab si kate bernama Usman. Dia memang bernasib sedikit lebih baik dari Adi. Dia punya rumah meskipun dari papan. Istrinya, Rahmi, buka warteg walaupun di daerah kumuh. Sementara itu dia sendiri mempekerjakan puluhan anak jalanan untuk berkeliling cari uang dengan ondel-ondel. Musik di pemutar kaset portabel, kantung-kantung penggalang sumbangan di tangan anak-anak. Rencananya dia mau mencari gawai murah yang bisa memutar musik MP3, tapi terpikir kemudian soal baterai. Repot kalau sebentar-sebentar harus nge-charge. Pemutar kaset yang dikata sudah rongsok itu bisa lebih tahan lama durasinya.

Porsi besar penghasilan keluarga Usman didapat dari warteg istrinya. Dalam situasi yang di bawah garis kemiskinan memang tak jadi soal siapa yang menghasilkan uang, yang penting bisa hidup.

Adi juga berprinsip sama. Bertahun-tahun silam, ketika dia kecil, dialah pencari nafkah untuk keluarganya yang terdiri dari ayah, ibu, juga dua adik laki-laki. Tak lama kemudian kedua adiknya itu ikut juga beredar di jalanan cari uang. Semua cari uang, semua tentang uang. Lama-lama dia tak pernah pulang ke rumah, lama-lama jalanan adalah rumahnya. Lama-lama kedua adiknya sudah tak dikenalinya lagi, sudah entah ke mana. Lama-lama rumahnya pun hilang, mungkin digusur untuk membuat proyek jalan baru.

Dia gonta-ganti pekerjaan, jadi tukang tambal ban, penjaja rokok asongan, sekali pernah jadi pekerja instalasi rumah hantu di pasar malam yang biasa mangkal di pinggir kota. Kadang dia yang jadi hantunya. Satu-satunya pekerjaan terhormat yang pernah dia lakukan adalah menjadi tukang baso gerobakan tatkala ada juragan baso yang membutuhkan penjual-penjual keliling. Pabrik itu bangkrut ketika isu baso berformalin sedang santer-santernya.

Lalu sederet pekerjaan yang silih berganti hampir dua minggu sekali dia jabani. Pekerjaan-pekerjaan yang tak ada kategorinya di KTP, kalaupun dia pernah memilikinya. Ketiadaan KTP ini membuat Adi tak harus pergi ke catatan sipil ketika mengawini Amini. Mereka punya anak laki-laki bernama Oki. Waktu mereka tinggal di kolong Kasablanka, setiap hari Adi duduk bersandar mengawasi istri dan anaknya itu berdiri di tengah jalan raya mengacungkan botol-botol minuman dingin pada barisan kendaraan bermotor. Dia mungkin pantas dikecam tak bermoral, tak punya hati sanubari, tapi sekali lagi, di tengah kondisi mepet tak jadi soal siapa yang menghasilkan uang. Lagipula kata "sanubari" terlalu puitis untuk dimiliki orang tak berpendidikan seperti dirinya.

Sesekali dia pakai uang jerih payah Amini dan Oki untuk berjudi dengan harapan bertambah berlipat ganda. Harapan yang dia bubungkan tinggi-tinggi meskipun tak jarang pertaruhannya kalah telak. Tapi lagi dan lagi dia berharap tinggi, karena dia ingin mereka bertiga bisa makan lebih enak. Harapan yang ditambatkan pada titik kegetiran memang cenderung berujung pada tindakan bodoh.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang