Bab 8

732 77 2
                                    




Normal. Kata itu yang tercetus dalam benak Elang pada pandangan pertama. Dia, didampingi Taufiq yang ogah-ogahan, berdiri di depan bangunan kosong berwarna merah jambu itu. Hari belum sampai gelap, masih banyak pedagang kaki lima memajang dagangan mereka dalam gerobak. Harum gorengan menggoda nafsu si polisi, tapi dia tak bisa curi-curi kesempatan untuk jajan, terlebih setelah Elang berkata, "Mohon arahannya, Pak Taufiq" diiringi senyum yang membuatnya grogi.

Ruko itu berada di sisi pinggir jalan yang dipadati orang seharian, diapit toko-toko yang aktif. Semua memang normal, mengingatkannya pada toko-toko tua bergaya Tionghoa di Pasar Baru, hanya saja lebih rusuh. Tidak sepantasnya jadi tempat di mana seseorang bersarang dan membantai manusia seperti yang dikatakan Ali minggu lalu. Elang berpaling ke seberang jalan raya dua arah, ke rumah kos yang dihuni Kanti. Dia menebak-nebak yang mana kamar perempuan itu. Semua jendela di sana hitam, tertutup. Disekanya peluh dari keningnya. Sore itu panas masih memerangkap seisi kota dalam tigapuluh tiga derajat celcius yang sangar.

Taufiq juga kepanasan, terutama karena dia masih harus tampil berseragam lengkap, dan karena masih memendam kejengkelannya atas tindak-tanduk Elang di kantor polisi tadi. Kakinya berkeringat tak nyaman ketika dia naik ke teras yang pendek. Pecahan-pecahan keramik diseroknya dengan ujung sepatu. Terkunci, pasti terkunci, begitu dugaannya ketika mengulurkan tangan ke pintu depan ruko. Kalau tidak terkunci, paling tidak akan sulit dibuka saking tuanya. Dengan begitu dia akan menjejalkan fakta itu ke muka Elang yang selalu berbangga diri, dan mereka bisa pulang. Seolah memakbulkan pikiran atau harapan Taufiq itu, pintu itu tak mau membuka. Puas, dia berpaling pada Elang. "Dikunci," bilangnya. Selesai, kita pulang, ucapnya dalam benaknya. Seharusnya dia tahu Elang tidak berminat pada kegagalan.

Taufiq bergeser agar Elang dapat membuktikan sendiri bahwa pintu itu benar tak bisa dibuka. Tapi Elang tidak tertarik pada pintunya. Jendela sebelah kananlah yang disasarnya. Tak sampai dua menit dia sudah membobol tiga lembar papan yang tadinya terpaku di situ.

Ke dalam lubang persegi itu Elang dan Taufiq menjengukkan kepala mereka. Bau lapuk segera menyerbu keluar. Taufiq mengibaskan tangannya di depan hidung. Dia mengangkat tubuhnya dan meloncat masuk, menjejakkan kaki di ubin kelabu berselimutkan debu setebal dua inci.

Elang menyusul. Tidak diacuhkannya sungut-sungut Taufiq. Dia hanya menggunakan Taufiq sebagai sarana legal menggeledah ruko kosong itu. Ruangan yang mereka masuki itu disekat oleh dinding transparan yang tersusun atas kaca-kaca persegi kecil. Dia maju. Sesuatu tersenggol olehnya, menggelinding berputar-putar. Sebuah gasing.

Di ruangan sebelah mereka menemukan pemandangan yang lebih menakjubkan. Boneka-boneka berwujud manusia dalam rak, mobil-mobilan dalam etalase pajangan, kotak-kotak kayu berwarna meriah dan sebuah rumah mainan yang setinggi pinggang orang dewasa. Elang dan Taufiq bertukar pandang. Mereka kini bisa menebak untuk apa ruko itu digunakan sebelumnya. Toko mainan.

Pada masa kejayaannya, mungkin sepuluh tahun atau duapuluh tahun lalu, toko itu pasti menarik, sukses, dan merupakan tempat pertukaran uang yang luar biasa pesat. Elang tidak tahu-menahu soal garmen, namun bisa dinilainya hanya dengan melihat bahwa baju-baju boneka itu, semuanya dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tinggi, tahan lama walau tak terurus bertahun-tahun.

Di situ juga ada kursi-kursi dan sofa, serta meja kopi yang demikian rendah hingga bisa digunakan untuk menumpangkan kaki. Elang tak melihat hal yang berarti. Barang-barang terbengkalai, itu saja. Berbau apak, lembab, sarang penyakit paru-paru basah.

Taufiq mengamati mobil-mobilan di etalase dengan berkacak pinggang. Rupanya bukan sembarang mobil mainan, melainkan miniatur merk-merk mobil kelas wahid. Porsche, Rolls-Royce, Bentley, Lamborghini, berselaput sarang laba-laba dan telur-telur serangga yang aneh. Sayang, sungguh sayang.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang