Kanti menancapkan tatapan kering pada Elang yang bertandang ke kamarnya selewat waktu maghrib. Bukan perkara jengah dengan jenis kelamin Elang, bukan. Dia merasa batas-batas ruang gerak tubuhnya sedang dilanggar. Itu adalah kamarnya, tempat dia tidur, tempat dia mengkhayal, tempat dia bermasturbasi, tempat dia bermimpi. Dia tidak nyaman sarang perlindungannya satu-satunya dimasuki orang lain. Titik.
Kalaupun ada lanjutannya, paling pol hanya obrolan dengan selera humor setengah matang yang dipaksakan. Kanti tidak menguasai seni berbasa-basi. Oh, mungkin ini sebabnya dia tidak populer di kalangan para banci tampil dan manusia ekstrovert lainnya.
Prasangka, tameng-tameng pembelaan diri, emosi, berjubel dalam kepalanya sampai sulit menemukan ruang untuk pikiran jernih. Kontrol, dia mengingatkan diri. Betapapun keberatannya dia, kedatangan Elang toh memang dilatari laporannya ke polisi tadi sore. Dia mau tidak mau menerima Elang. "Nggak usah panggil gue Mbak," dia berkata ketus ketika Elang menyapanya dengan sebutan itu dalam usahanya menjajaki perkenalan.
Elang tak pernah berpikir semua perempuan akan bersolek dari rambut sampai kuku kaki layaknya Syahrini atau bidadari-bidadari K-Pop sepanjang duapuluh empat jam sehari. Bahkan perfeksionis seperti Elisa si agen properti juga akan menghapus polesannya. Tapi pada diri Kanti, Elang tak menemukan bekas-bekas riasan. Polos, tanpa tanda-tanda pernah didandani, tidak kinclong layaknya orang yang rutin melakukan perawatan kecantikan ala salon.
Nilai, adalah satu hal yang tak bisa seseorang hindari tatkala berjumpa dengan orang lain. Elang belum bisa menentukan bagaimana harus menilai Kanti, atau apakah dia akan pernah menilainya.
"Kita nggak sebaiknya pindah tempat?" Elang menawarkan. Saat itu mereka duduk lesehan, berseberangan. Kipas angin berdengung di atas meja, lehernya berputar bolak-balik berusaha menjangkau seluruh ruangan.
"Kenapa? Nyamuk?" tanya Kanti.
Elang menggeleng. "Nggak.. Tapi ini kamar cewek. Ntar jadi omongan kalo ada yang tau gue di sini."
Dalam hati ingin benar Kanti menerima tawaran itu. Tapi setelah dipikirnya masak-masak, dia menepis gagasan itu. "Ini kosan campur kok. Di lantai bawah itu cowok semua. Yang lain juga bebas-bebas aja terima tamu di kamar," katanya. "Lagian di sini lebih aman."
"Aman dari apa?"
"Gue diteror orang, kan gue udah ngomong di kantor polisi!" Kanti berusaha tenang tapi bibirnya bergetar. "Gue nggak tau bakal ada tamu, nggak ada apa-apa. Air putih?"
Tawaran ini Elang tolak, sehalus yang dia bisa.
"Gue liat tadi kalian udah ke ruko itu," ujar Kanti. "Nemu sesuatu?"
"Banyak," jawab Elang. "Tapi bukan mayat. Cuma boneka."
"Boneka?"
"Iya, boneka. Tadinya itu toko mainan ternyata. Ada bengkel pembuatan boneka juga di atas situ. Sekarang udah nggak kepake."
"Tapi pasti ada yang pake," Kanti membantah. "Gue denger orang-orang di dalam sana!"
Kekukuhan Kanti justru membuat Elang ragu. "Di kantor polisi tadi lo bilang lo cuti kuliah. Jurusan apa?"
"Desain Komunikasi Visual," jawab Kanti.
"O..," Mulut Elang membundar. "Lo kerja pake kuas, cat, kertas, manual amat," pancingnya.
"Harusnya gue ada laptop. Tapi kepaksa dijual, makanya gue susah cari kerjaan bagus," ucap Kanti. "Semoga nggak lama lagi bisa beli yang baru."
"Kenapa cuti?" tanya Elang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)
Mystery / ThrillerTiga mayat anak jalanan ditemukan tewas di kawasan Jatinegara. Ketiganya ditemukan tergantung di pinggir flyover. Kanti dan Elang berusaha mengungkap siapa di balik kejadian keji itu. Siapa pembunuh keji yang menggegerkan kota? Apa kematian mereka b...