Bab 5

1K 94 8
                                    



Kanti terbangun dari mimpi buruk dan mendapati sekelilingnya gelap. Mati lampu.

Lelah akibat kepanasan, mimpi buruk, dan rasa lapar yang tiba-tiba melanda, Kanti menopang kepalanya yang terasa dua kali lebih berat di atas meja. Daun jendela dia buka lebar. Lilin! Ratapnya keras. Tidak pernah terpikir olehnya membeli lilin. Senter, dia tidak punya. Dia mengetuk layar smartphone-nya. Mau tidak mau dia mengandalkan benda itu sebagai penerangan sampai listrik nyala, atau paling tidak sampai baterainya habis.

Kanti mengetuk layarnya sekali lagi, mengaktifkan torch. Sebuah sinar yang lemah cakupannya memancar ke satu sudut kamar. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas. Dalam sorot senter mutakhir itu bayangan jarum jam memanjang sampai ke langit-langit seperti sepasang kaki serangga raksasa. Dia mengarahkan sinar itu ke meja, ke selembar ilustrasi terakhirnya. Tergambar di situ sebuah kepala yang menyembul di tengah gumpalan-gumpalan kabut hitam. Dia bergidik.

Pukul sebelas. Kanti tertawa penuh sesal. Sungguh bukan waktu yang sempurna untuk terbangun. Dia kembali ke tempat tidurnya, kembali merebahkan diri meskipun seprainya masih terasa panas. Sebelah tangannya tertindih tubuhnya ketika dia berguling. Dia yakin tak akan bisa tertidur lagi sepanjang sisa malam itu. Dengan membawa keyakinan itu, dia terlelap.

Mimpi Kanti berlanjut. Dia berjalan tanpa arah. Kedua kakinya melangkah bergantian, kiri, kanan, kiri, kanan. Dia melongok ke bawah. Tak ada jalan, tak ada lantai. Dia berjalan. Ada sesuatu yang dipegangnya. Diangkatnya tangan kirinya dan dia melihat seutas tali panjang yang terentang lemah dari belakang ke depan. Kedua ujungnya tenggelam dalam kegelapan.

Kanti berjalan. Dalam hatinya dia tahu dia harus terus ke depan, sampai ke ujung tali itu. Ruang di sekelilingnya mampat. Udara yang dihirupnya basah dan berlendir. Dia mendengar suara-suara orang tapi semua seolah teredam.

Semuanya logis, semuanya terjadi sebagaimana mestinya. Dia tinggal mengikuti tali itu sampai menemukan sebuah pintu. Sebuah lubang.Dia bisa melihatnya. Semakin besar, semakin terang. Dia memanjat ke sana.Ambang lubang itu seperti selaput tipis tapi kokoh. Dia berpegangan di tepiannya dan dengan satu tarikan napas panjang melangkahinya. Dia keluar.

Dia tidak perlu menerka-nerka apa yang akan dijumpainya. Dia sudah tahu. Seakan-akan dia sendiri yang merencanakan mimpi itu, atau dia yang meminta mimpi itu datang. Dia tahu di depan sana ada ibunya, terbaring di atas tempat tidur selembut bulu, sebiru ombak. Bahkan samar-samar bisa didengarnya desiran air yang seperti memecah pantai.

Ibunya berkulit cokelat langsat dengan kedua mata kecil yang sayu. Seingatnya dulu kedua mata itu selalu berbinar. Namun laki-laki itu, ayahnya, sudah mengubah ibunya.

Dia menunduk menatap ibunya di pembaringan. Ini cuma permainan. Permainan hidup dan mati, kata ibunya dengan bercanda. Mati terus nanti hidup lagi, lanjut ibunya.

Semuanya terasa logis.

Kanti berpaling. Dia melihat ayahnya berdiri menuding-nuding ke arahnya dengan mulut komat-kamit yang liar. Apa itu yang dikatakannya? Suaranya tenggelam dan timbul.

Dasar anak jahanam! Itu yang dikatakan ayahnya padanya.

"Dasar anak jahanam," Kanti mengucap ulang perkataan ayahnya dengan khidmat.

Terdengar bunyi ctik, ctek, ctik, ctek

Ibunya di pembaringan. Ayahnya di sebuah kursi. Mereka mengulang-ulang gestur yang sama, perkataan yang sama, seperti mainan rusak.Saling sahut, berirama sampai berganti menjadi sebuah lagu yang bagi Kanti terdengar asing.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang