Bab 11

628 73 0
                                    


Ruang tamu itu sama seperti terakhir kali Elang melihatnya sebelas tahun lalu. Kalaupun ada yang berbeda hanya ditemuinya pada lemari kabinet bergaya Belanda di pojok. Dulunya lemari itu berisi pernak-pernik dari porselen dan kaca yang indah, kini penuh kaleng bekas biskuit, sebuah vas berisi bunga plastik yang berjamur, dan benda-benda yang tak berkaitan satu sama lain.

Elang terbiasa menyebut perempuan itu "Ibunya Rudi" karena memang begitu anak-anak diajari cara menyebut orangtua teman mereka. Sekarang dia memanggilnya dengan namanya, "Bu Tanti". Bu Tanti dari dulu orangnya tak banyak bicara, seingat Elang. Hari ini, meskipun begitu, dilihatnya perempuan itu lebih ringan lidah dibanding yang dulu. Dia membicarakan Rudi, kakak Rudi, dan suaminya yang sudah almarhum semua. "Rani dulu suka main lompat tali di ruangan ini sampe kejeduk meja kepalanya," begitu waktu dia membicarakan kakak perempuan Rudi. Dia bercerita dengan cara berapi-api dan berlebihan, nyaris mencapai histeria. Ini bisa dipahami mengingat Bu Tanti bungkam seribu bahasa ketika anaknya dimakamkan seminggu lalu. Sekarang emosi yang bertumpuk-tumpuk itu sudah mendesak ingin keluar. Kebetulan Elang yang harus menyaksikan itu.

Beberapa kali Bu Tanti bicara dengan tawa gembira, tapi berikutnya menangis hampir sepuluh menit sendiri. Elang merespon dengan cara terbaik : dengan tidak melakukan apapun, tidak berkata apapun, juga tidak mencegah. Mengeluarkan racun adalah penyembuhan yang lebih efektif dibanding obat-obatan.

Bu Tanti berkata dia hendak ke dapur, mau mengambilkan Elang minum. Ketika dia keluar lagi, yang dibawanya hanyalah segelas air di atas nampan yang kemudian diminumnya sendiri. Elang tak berusaha mengoreksi ini.

Mengarahkan Bu Tanti pada satu topik menjadi sulit Elang lakukan dengan kondisi yang demikian adanya. Beberapa kali mereka berputar jauh lalu kembali ke permasalahan inti, inipun tidak berakhir memuaskan. Bu Tanti suka mengulang kembali percakapan masa lalunya dengan suaminya, juga mengulang gayanya sendiri saat mengomeli Rudi. Semua itu dia lakukan dengan mata bengkak dan basah, menghidupkan kembali bayang-bayang para almarhum di ruang tamu itu.

Pemandangan menyedihkan itu berlangsung selama satu jam pertama sejak Elang duduk. Jam berikutnya, suasana meringan. Bu Tanti mulai memijak dimensi yang sama dengan Elang. Obrolan lebih luwes seputar cuaca dan gosip internet. Semerawut di wajah Bu Tanti berangsur pudar berganti binar-binar lembut. Dia segera tersadar Elang belum disuguhinya minum. Baru dia beranjak untuk memperbaiki keteledorannya, Elang menyela.

"Saya mau tanya soal Rudi, sebenarnya, Bu," ujar Elang begitu Bu Tanti duduk lagi.

Elang mengawasi dengan cermat, kalau-kalau suasana hati Bu Tanti meledak lagi jika nama anaknya disebut. Tapi kali ini perempuan itu sudah lebih tenang. Setengah bebannya tampaknya sudah berhasil terkuras keluar.

"Ibu melihat ada yang beda nggak sih dengan perilaku Rudi?" tanya Elang.

Bu Tanti mendesah. Mungkin lelah karena sudah menerima pertanyaan yang sama berulang-ulang. "Saya nggak merhatiin, Lang," jawabnya. "Di mata saya dia biasa aja. Nggak ada apa-apa. Saya juga nggak punya firasat buruk. Nyesek kalo ingat itu, padahal saya ibunya, tapi nggak ngerasa kalo nyawanya terancam."

Kalau memang ada yang namanya firasat buruk, semua pembunuhan bisa dicegah, timpal Elang dalam hati. "Saya sempet ketemu sama Rudi. Kayaknya dia nggak suka ngeliat saya dateng. Kami emang udah nggak akrab lagi."

"Dia kelihatan ceria, selama hari-hari terakhir itu," Bu Tanti mengenang, tak mengacuhkan Elang. "Kerjanya berat, sering dapet jaga malam, tapi dia nggak ngeluh, malah semangat banget."

Elang memanfaatkan momen ini. "Pernah nggak Rudi cerita sama Ibu soal kerjaannya? Kejadian-kejadian sepanjang waktu dia lagi jaga, mungkin?" pancingnya.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang