Bab 4

983 102 10
                                    


Sudah berjam-jam lewat sejak Toko Roti Alwiya tutup, tapi satu lampu masih menyala. Di pojok bawah, di dapur, kesibukan tengah berlangsung bertubi-tubi di bawah cahaya putih delapan belas watt.

Memukul, meninju, memutar, menggelinding, membanting, memotong.

Madinah, pegawai tertua Alwiya, rupanya masih yang paling tangguh kalau berurusan dengan adonan roti. Tidak hanya kekuatan tangannya yang bisa menangani pembuatan roti berbagai tradisi dari segala penjuru dunia, tapi vitalitasnya secara keseluruhan membuat orang susah percaya usianya sudah di ambang enampuluh-an.

Andai sore tadi tak terjadi bencana, Madinah mungkin sudah bisa berbaring pulas saat ini. Gara-gara dia sakit kepala, dia menyerahkan pembuatan Roti Swiss untuk besok pada seorang pegawai yang masih muda. Rupanya si pegawai yang diberi mandat itu teledornya minta ampun, ditinggalkannya roti-roti berharga itu dalam oven sampai gosong. Setelah melalui drama penuh isak tangis dan cercaan, Madinah memutuskan untuk membereskan segalanya sendiri malam ini juga.

Bu Arumi, generasi ke-tiga pemilik Toko Roti Alwiya selalu penuh perhitungan dan disiplin. Tapi dia selalu lunak pada Madinah yang sudah mengabdi pada toko itu sejak zaman neneknya. Diberikannya Madinah sebuah kamar di pekarangan belakang, juga kunci toko. Dengan begitu Madinah tak perlu berjalan jauh untuk pergi kerja di usianya yang lanjut itu.

Siapa yang tidak kenal Mami Madinah dan roti-roti legendaris buatannya. Diam-diam dirinyalah yang lebih sering diasosiasikan dengan Toko Roti Alwiya dibandingkan Bu Arumi sendiri. Bahkan sempat ada desas-desus sebenarnya Madinah yang menciptakan resep-resep roti di situ. Berkali-kali warga berkata Madinah harusnya bisa buka toko roti sendiri kalau punya modal. Tapi Madinah loyal pada Alwiya dan para penerusnya.

Tangannya sudah penuh tepung, tapi pekerjaannya belum rampung. Wajah sampai lehernya berpeluh. Padahal baru saja hujan mengguyur. Memang sedang masa pancaroba, sekarang. Hujan tapi menyisa panas. Sebentar gersang, sebentar berangin. Namanya juga Jakarta. Madinah terkenang kampung halamannya, sebuah kota kecil di utara Yogyakarta.

Lalu kenangannya berubah menjadi sosok-sosok polisi berseragam yang beberapa hari lalu menyambangi toko. Tanya-tanya tidak jelas. Soal anak jalanan dan sebagainya. Mereka ingin tahu apakah ada yang pernah memberikan roti jualan untuk anak-anak jalanan. Tentu tidak. Mana berani pegawai memberikan roti jualan dengan cuma-cuma, kecuali Bu Arumi sendiri yang menghendakinya.

Madinah-lah yang selalu memberi roti pada anak-anak jalanan, tapi dia tak memberitahu polisi-polisi itu. Bukankah yang mereka tanyakan itu roti dalam kemasan? Madinah hanya memberikan roti-roti yang tidak dijual, alias yang sisa saat pembuatan atau yang hasilnya kurang bagus bentuknya. Roti-roti yang tidak masuk tahap pengemasan. Madinah memberikannya pada setiap anak jalanan yang berkeliaran di dekat toko. Kalau umur sudah tua, orang jadi makin tahu perlunya berbagi, orang jadi makin punya rasa kasihan. Lebih-lebih yang pernah mengalami penderitaan lahir-batin seperti Madinah.

Hidupnya semasa kecil tak pernah enak. Melihat anak-anak jalanan itu, dia..

Madinah tergugah dari lamunannya. Baru saja dia merasa mendengar bunyi berkerit yang samar. Seseorang membuka sebuah pintu, di suatu tempat. Jangan-jangan Bu Arumi jadi terbangun gara-gara mendengar suara berisik di dapur. Dia menghentikan pekerjaannya untuk memasang kuping. Kepalanya ditelengkan ke arah pintu dapur. Bukan. Langkah kakinya itu. Dia kenal Bu Arumi sejak masih bayi, dia tahu seperti apa majikannya itu berjalan. Suara langkah kaki yang kedengaran itu bukan milik Bu Arumi.

Tidak biasanya Madinah gugup. Tapi perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak tanpa dia sendiri tahu penyebabnya. Cepat-cepat dia mematikan lampu dapur. Dia menunggu dan mendengarkan dalam kegelapan.

[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang