Dalam hati Ali memaki. Dia sedang menjalani sebuah hari sibuk yang biasa, penuh aroma kopi, uap panas, dan bunyi mesin penggiling. Sebuah ayunan di pintu masuk membuatnya menoleh dan di sanalah, di ujung, berdiri Elang yang kini tak datang seorang diri. Seorang perempuan menemaninya, tak lain adalah Kanti.
Kedua orang itu duduk di depannya, memesan dua cangkir kopi, satu dengan susu, satu lagi espresso. Kebetulan baru datang biji kopi asal Flores. Selanjutnya Ali menggiling biji-biji kopi dan secara profesional menyajikan kopi-kopi andalannya, yang langsung diteguk tanpa pikir oleh dua orang itu. Tak ada diskusi seputar single origin, tak ada pertanyaan bagaimana proses pembuatan kopi. Mereka memandang kopi-kopi itu hanya sebagai minuman, untuk diminum, bukan untuk diresapi dan dihayati. Ali geleng-geleng kepala. Dia mendambakan percakapan-percakapan bernuansa kopi seperti di film-film, tapi tak pernah dia dapatkan itu dari para pelanggannya.
Kopi juga tak menghantarkannya pada pertemuan takdir alias jodoh. Sementara itu Elang tampaknya gampang saja menggaet seorang perempuan. Ini membuat perasaan Ali rontok. Untungnya self-esteem yang dia miliki masih setinggi langit. Dia merapikan topi dan kacamatanya, lalu tangannya mengusap cambang yang dipeliharanya. Dia yakin dirinya masih lebih keren daripada Elang. Dia adalah Ali pemilik Semata Wayang Coffee di kawasan Otista yang ramai!
Sudah berhari-hari sejak sama-sama menghadiri pemakaman Rudi, Ali tak melihat Elang beredar. Rupanya dalam rentang waktu itu Elang sudah mendekati Kanti, berkenalan dengannya, dan dari apa yang tampak di matanya, keduanya sudah cukup akrab dan nyaman. Ali harus tahu apa yang telah terjadi.
"Ya jelas gue harus balik kuliah," Kanti kedengarannya tersinggung. "Apa maksud lo gue nggak perlu kuliah lagi?"
"Lo udah bisa dapet duit sendiri, ya udah kerja aja lah, ngapain susah-susah kuliah lagi?" Elang menyeruput kopinya.
"Biar gue udah bisa dapet duit, gelar kesarjanaan itu masih penting buat gue," ujar Kanti. "Lo ngelamar kerjaan, pasti yang diminta itu ijazah!"
"Kanti, lo kerja sekarang ini buat beli laptop baru, modal lo sebagai graphic designer. Kalo udah dapet laptopnya, ya lanjut aja kerja. Kalo kuliah lagi lo keluar duit lagi buat bayar!"
"Gue masih butuh belajar banyak. Desain komunikasi itu nggak gampang, Lang!"
"Oke, tapi belajar nggak harus di kelas-kelas kampus, belajar bisa langsung di lapangan, cari pengalaman langsung di dunia kerja. Itu baru belajar yang enak, karena kita yang dibayar!"
Dengar sendiri bukan betapa mereka sudah sedekat itu? Ali memberengut. Seorang pelanggan di pojok café mengangkat tangannya. Orang-orang manja ini nggak maju-maju, Ali mendesah dalam hati, namun mengusahakan sebuah senyuman ketika terpaksa harus meninggalkan percakapan Elang-Kanti.
"Oi, Al!" panggil Elang. "Di sini nerima dagangan titipan dari luar nggak?"
"Udah pernah kepikiran sih," jawab Ali seraya kembali ke belakang bar. "Gue rencananya malah mau kerja sama sama Mami Madinah kalo dia udah nggak di Alwiya."
"Iya, gue denger dia bakal pensiun," kata Elang.
"Mami Madinah itu siapa?" tanya Kanti.
"Dia pembuat roti di Toko Roti Alwiya," Elang menjawab Kanti.
"Dipensiunkan lebih tepatnya, Lang," sahut Ali.
Elang menoleh. "Dipensiunkan? Maksud lo?"
"Dipecat dengan hormat," tegas Ali.
"Dipecat dengan hormat," ulang Kanti kemudian dia terkekeh.
"Jadi dia bukan pengen pensiun sendiri?" Elang bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[URBAN THRILLER] Chandra Bientang - Dua Dini Hari (SUDAH TERBIT)
Mistério / SuspenseTiga mayat anak jalanan ditemukan tewas di kawasan Jatinegara. Ketiganya ditemukan tergantung di pinggir flyover. Kanti dan Elang berusaha mengungkap siapa di balik kejadian keji itu. Siapa pembunuh keji yang menggegerkan kota? Apa kematian mereka b...