9. Dag Dig Dug

133 5 0
                                    

Adalah Dylan ; yang tak pernah seharipun membuat aku tertawa, rasanya ada saja hal - yang menurutku - konyol yang dia lakukan. Entah aku yang memang baru kenal dia sebenarnya, atau memang dia sudah dilahirkan untuk menjadi orang yang menggelikan.

Setelah Dylan sampai kost-ku sore itu, aku langsung menujunya, aku naik di jok motor belakangnya, kemudian selang beberapa detik kami sudah menghilang dari gang kecil Kalimasada V itu.

Beruntung, kali ini cuaca erah dan tidak ada tanda hujan sedikitpun, aman, pikirku dalam hati.
Sekitar pukul 17.30 kami sudah sampai digedung bioskop yang sama, yang beberapa waktu lalu sempat gagal nonton gara-gara kehabisan tiket.

Kami langsung mengantri tiket, tidak begitu ramai, mungkin karena waktunya yang sudah mendekati Maghrib, hanya di antrian saja yang tidak begitu panjang mengular, disekitarnya berjejer rapi dengan pasangan masing – masing. Kursi tunggu disana memang sangat terbatas, hanya ada tiga kursi empuk panjang, di samping pintu masuk studio 1, 2 dan 3.

Setelah tiket itu kami dapat, kami lirik kanan kiri, Oh, tidak ada tempat memungkinkan untuk duduk. Sangat mustahil kalau aku dan Dylan harus berdiri tiga jam lamanya. Ya, kami sengaja membeli tiket untuk pukul 21.00. tidak ada alasan khusus, hanya ingin tenang saja dan tidak terburu-buru.

Kami keluar dari bioskop, sekedar untuk berjalan – jalan karena taka da tempat duduk untuk menunggu didalam.

“Mas, kita kemana nih? Gila, nunggu 3 jam loh”

“Lha mau kemana?” Sudah menjadi kebiasaan memang, dia menjawab se-kena-nya.

“Hiiihh, ya nggak tau, pokoknya aku nggak mau berdiri depan studio bioskop, capek, hehe”

Aku membuntuti Dylan, ku pegangi jaketnya, bebas saja kemanapun dia pergi asal aku ikut (Kalau kamu merasa kata-kata ini mirip dengan yang kalimat yang ada di novel Dilan dan Milea, ya benar, “Aku tidak akan melarang kamu pergi ……….. asal aku ikut” kalau tidak salah begitulah di novelnya).

Sebentar kami berjalan, Dylan akhirnya menemukan tempat duduk, empuk. Tempatnya memang didalam Time Zone, kami duduk di belakang alat dance “Pump It Up” atau beberapa orang menyebutnya “DDR” (Dance Dance Revolution). Ada dua perempuan seusia kami memainkan game tersebut, yang satu lincah, yang satu lagi terlihat seperti baru pertama kali main Pump It Up, dengan tega kami berdua tertawa tanpa suara melihat perempuan itu.

“Mas, kamu bisa main itu nggak?” sambil bersandar ditubuh Dylan yang sebelah kiri, aku tanya Dylan tentang permainan Pump It Up itu.

“Bisa lah, gampang” Dylan agak songong memang kalau soal begini.

“Coba deh main, aku mau liat”

“Sebentar, aku tanya dulu, harus pake powercard atau nggak” dia meninggalkan aku sendirian, sudah seperti anak kehilangan ayahnya. Hahahha.
Tak lama kemudian dia datang, dan….

“Harus pake powercard ternyata”

“Oh, berapa emang harganya”

“Seratus ribu”

“Wagelasehh, (Wah Gila Sih) Mahal banget, udah nggak usah main aja, hahaa”

“Hahaha, sebenernya nggak apa-apa sih kalo aku pengen pasti aku beli, tapi lagi nggak pengen main aja”

“Hih, tapi tetep sayang uangnya tau, eh Mas, sholat maghrib dulu, aku lagi nggak sholat tapi, hehe”

Aku ikut Dylan sholat ke lantai 4, aku tunggu dia duduk dikursi panjang yang ada disana. Selesai sholat, kami bingung harus kemana. Akhirnya kami duduk di sekitar Wi-Fi corner, disana sepi. Hanya ada deretan counter HP dari berbagai brand tanpa pengunjung.

Rindu Dylan, 2017 [Belum Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang