13. Mt. Ungaran

77 3 1
                                    

Apa yang ada dalam bayang - bayang beberapa waktu terakhir akan segera terwujud satu persatu. Seperti sekarang misalnya, aku sudah ada diatas motor, dibelakang Dylan, dengan jarak tubuh kami yang kurang dari sejengkal. Perjalanan kami cukup dekat, tidak lebih dari dua jam. Tapi meskipun begitu, aku menikmati setiap detik yang berlalu selama diperjalanan, sesekali Dylan meminta aku untuk membukakan cross body slingbag untuk menaruh atau mengambil handphonenya, karena tasnya dia pakai didepan, tanganku seperti melingkar penuh ke tubuh Dylan. Rasanya jantungku hampir lepas. Berada sedekat itu dengan Dylan benar-benar menyebalkan, membuatku gugup tak karuan.

Hal yang paling aku takutkan ketika bedekatan dengannya adalah, aku takut detakku menembus menggetarkan membran tympani miliknya.

Kami berangkat dari kost sekitar pukul dua siang dan tiba di basecamp sebelum jam empat sore. Agak lama memang, karena di pertengahan jalan tadi Lala dan Mario terpisah dari kami berenam, entah mereka terlalu asik mengobrol atau apa aku tak tau, jadi kami harus menunggu beberapa waktu. Tak lama setelah disusul Doni dan Kiki mereka akhirnya datang, barulah kami melanjutkan perjalanan kembali.

Setibanya kami di Umbul Sidomukti, tiba-tiba motor yang dinaiki Mario dan Lala pun mengemis perhatian kami. Motornya susah naik didataran tinggi berlikuk seperti jalur sekitar pondok kopi. Terpaksa kami juga harus menunggu motor itu naik perlahan.

Dengan tubuh sedikit menegang, sedikit ketakutan karena motor Dylanpun sudah tidak muda lagi, aku memberanikan diri memengang pinggang Dylan. Agak malu sebenarnya, tapi akan lebih malu lagi kalau aku jatuh berguling ke bawah dari dataran tinggi ini.

Kami menunggu Lala dan Mario didepan loket masuk pendakian. Beberapa menit kemudian mereka datang. Kami langsung memarkir motor tak jauh dari basecamp tempat kami beristirahat. Kami duduk – duduk sejenak, ada yang bersandar, sekedar tidur – tiduran, aku Dylan dan Doni di luar basecamp. Bercanda kesana kemari sampai terkekeh geli.
Selepas sholat ashar, kami berkumpul didalam basecamp, briefing pendakian sembari menunggu adzan maghrib. Setelah sholat maghrib kami langsung memulai pendakian. Ini adalah pendakian pertama yang aku mulai malam hari. Sedikit mengerikan memang, aku harus benar – benar fokus melihat kebawah, barangkali ada batu ganjen yang akan membuatku tersandung. Aku terus berada dibelakang Dylan, punggung lelaki itu benar – benar menggoda untuk dijadikan pegangan. Aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya, atau meminta bergandengan tangan, meskipun sebenarnya itu sangat wajar dilakukan oleh dua orang yang saling menyayangi dalam perjalanan mendaki gunung.

***

bagian ini belum selesai, nanti kita lanjut lagi yaaaa..

Rindu Dylan, 2017 [Belum Lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang